"Hidayah adalah cahaya yang menerangi jiwa, namun tanpa kesadaran, ia bisa memudar. Sadari kehilangannya sebelum terlambat, karena dunia tak sepadan dengan kekosongan hati dari cahaya Ilahi."
Terkadang kita begitu terlena dengan hiruk pikuk kehidupan, hingga tak sadar bahwa sebagian dari hidayah-Nya telah Allah ambil. Kekhusyukan yang dulu begitu mendalam saat berdiri dalam salat, kini terasa hampa. Hati yang dulu gemetar saat mendengar ayat-ayat Al-Qur'an, kini tak lagi bergetar. Zikir yang dulu menenangkan, kini terasa hambar.Â
Tilawah Al-Qur'an yang dulu memenuhi hari-hari kita, kini hanya sebatas rutinitas yang terlupakan. Kita tak lagi menangis dalam doa, tak lagi merasa kehilangan saat jauh dari dzikir dan ibadah.
Mengapa kita tak merasa risau ketika keindahan hubungan dengan Allah perlahan memudar? Tak ada tangisan, tak ada rasa kehilangan, seolah tak ada yang berubah. Namun saat sedikit saja dari duniawi terenggut, kita bersedih, gelisah, dan tenggelam dalam keputusasaan.
Sungguh, dunia seolah lebih besar dalam hati kita dibandingkan akhirat, padahal dunia tak lebih dari bangkai anak kambing yang tiada harganya.
Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang merasa gembira dengan amal kebaikannya dan merasa susah dengan amal keburukannya maka ia adalah mukmin."
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Kekhusyukan yang Hilang
Pernahkah kita merenung sejenak? Bahwa hidayah dari Allah itu adalah karunia yang tak ternilai. Ia adalah anugerah yang memuliakan seorang hamba di hadapan Rabb-nya. Namun sayang, kita sering tak menyadari bahwa hidayah itu juga bisa perlahan-lahan diambil kembali. Salah satunya adalah kekhusyukan. Ketika shalat tak lagi menenangkan, ketika hati tak lagi terisi oleh cinta kepada-Nya, itu pertanda bahwa sebagian dari hidayah tersebut telah hilang.
Bila hati tak lagi gemetar saat mengingat Allah, bukankah itu tanda bahwa ada sesuatu yang hilang dari diri kita? Seperti tetesan air yang perlahan-lahan habis dari sebuah kendi, demikian pula hidayah yang bisa hilang dari kita. Tak terasa, tetapi nyata.
Tilawah yang Terlupakan
Al-Qur'an, kalamullah yang mulia, adalah sumber ketenangan bagi hati yang merindukan Tuhan-nya. Namun, berapa banyak di antara kita yang telah lupa melantunkan ayat-ayat-Nya? Berapa kali kita abai dari membacanya, meski sesungguhnya ia adalah petunjuk yang akan membimbing kita di kegelapan dunia? Hati yang dahulu merasa manis saat membaca Al-Qur'an, kini menjadi hambar. Tak terasa, hidayah itu semakin jauh.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
(QS. Taha: 124)
Sungguh, kita sedang menghadapi musibah besar ketika Al-Qur'an tak lagi menjadi teman keseharian kita. Jika kita tidak segera kembali pada-Nya, kita akan merasakan sempitnya kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketergantungan pada Dunia
Ketika kita kehilangan bagian dari dunia --- mungkin harta, jabatan, atau hubungan --- kita seringkali merasa dunia seolah runtuh. Kita terperangkap dalam kesedihan, kecemasan, bahkan kemarahan. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin karena dunia ini telah terlalu besar tempatnya di dalam hati kita. Padahal Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallam pernah mengingatkan bahwa dunia tak lebih berharga dari bangkai anak kambing yang cacat.
Sabda beliau:
"Demi Allah, dunia ini lebih hina di sisi Allah daripada bangkai anak kambing di hadapan kalian."
(HR. Muslim)
Jika dunia tak lebih dari bangkai di mata Allah, mengapa kita begitu gundah ketika kehilangan sesuatu darinya? Bukankah seharusnya yang lebih kita risaukan adalah ketika kita kehilangan rasa cinta kepada-Nya, ketika kita menjauh dari-Nya, dan ketika hidayah-Nya terlepas dari genggaman kita?
Menemukan Kembali Hidayah
Kehilangan sebagian dari hidayah bukanlah akhir dari segalanya. Selama hayat masih dikandung badan, pintu taubat selalu terbuka. Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa menunggu kita untuk kembali. Ia tak pernah menutup pintu bagi hamba-Nya yang datang dengan penuh penyesalan dan keinginan untuk berubah. Mari kita perbaiki hubungan kita dengan Allah, bangun kembali kekhusyukan dalam ibadah, lantunkan kembali Al-Qur'an dengan hati yang rindu, dan isi hari-hari kita dengan dzikir yang tulus.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102)
Menghidupkan Kembali Hati
Saat hati kita mulai merasakan kekosongan, jangan dibiarkan hampa terlalu lama. Segera isi kembali dengan mengingat Allah, dengan memperbanyak amal sholeh, dengan memohon kepada-Nya agar dikaruniakan hidayah yang murni. Jangan biarkan diri ini terbuai oleh gemerlapnya dunia, karena dunia hanyalah fatamorgana. Yang hakiki adalah ridha Allah dan kebersamaan kita dengan-Nya di akhirat kelak.
Bersyukur dan bersabarlah dalam setiap keadaan, karena hidayah adalah karunia yang mahal. Ketika kita mulai merasa kekurangan dalam hidayah, itu bukanlah tanda bahwa Allah meninggalkan kita, melainkan teguran halus agar kita kembali mendekat kepada-Nya.
Penutup
Tak terasa, sebagian dari hidayah itu mungkin telah diambil dari kita, namun pintu rahmat-Nya tetap terbuka. Mari kita jaga hati agar selalu terhubung dengan Allah, selalu merasa rindu akan ibadah, dan selalu merasa tenang dalam naungan cinta-Nya. Jangan biarkan dunia menguasai hati kita, karena hidayah adalah harta yang tak ternilai. Sesungguhnya, kesuksesan terbesar adalah ketika kita dipanggil kembali kepada-Nya dalam keadaan penuh hidayah.
Wallahu a'lam bis-shawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI