Mereka berdua tertawa kecil, meresapi absurdnya situasi.
Ancaman Politik Terbesar Abad Ini
Beberapa hari kemudian, hasil Pilkada diumumkan. Calon tunggal menang telak, tapi kotak kosong berhasil mendapatkan suara tak sedikit. Nyaris mengimbangi.
"Wah," gumam Pak Dilan, "ternyata kotak kosong itu bukan sembarang lawan. Ini ancaman politik terbesar abad ini!" Dia terbahak, merasa humor cerdas dari ironi yang terjadi.
Pak Boni menimpali, "Mungkin ke depan, kotak kosong harus dikasih nama panggilan. Biar lebih akrab, kita sebut saja dia 'Mas Kosong.' Siapa tahu jadi tren di Pilkada selanjutnya."
Mereka berdua tertawa lepas, bukan karena lucu, tapi karena fenomena ini sungguh absurd. Di negeri yang katanya demokrasi terbesar, mereka merasa justru kotak kosonglah yang mungkin paling punya peluang membawa perubahan.
Apa yang Perlu Diisi ?
Ya, begitulah kisah "Kotak Kosong", sang pahlawan Pilkada, yang tanpa suara tetap menggelitik akal. Cerita ini bukan sekadar lelucon, tapi cermin untuk kita semua - bahwa ketika kotak kosong punya kekuatan, maka mungkin yang perlu diisi bukan hanya kotaknya, tapi juga pemahaman kita tentang arti demokrasi yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H