"Ketegasan pemerintah bukan hanya soal menegakkan hukum, tapi juga menjaga kewibawaan negara. Saatnya bangsa ini berdiri teguh melawan kekuatan uang dan pengaruh politik demi keadilan sejati."
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan obligor besar seperti Marimutu Sinivasan menjadi sorotan utama dalam perjalanan panjang penegakan hukum di Indonesia. Bukan sekadar persoalan utang, tetapi juga ujian bagi kewibawaan negara dalam menegakkan hukum terhadap pihak-pihak yang memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang kuat. Sudah waktunya pemerintah bertindak tegas. Terutama menunjukkan kekuatan dan wibawa negara, serta menyelesaikan kasus ini secara tuntas, adil, dan transparan.
Marimutu Sinivasan: Sebuah Cermin Ketidakadilan Hukum?
Penangkapan Marimutu Sinivasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat, oleh petugas imigrasi patut diapresiasi sebagai bentuk keberhasilan menjaga kedaulatan hukum. Marimutu, yang merupakan obligor BLBI, mencoba melarikan diri ke Malaysia ketika terjaring pemeriksaan. Kegagalan upaya tersebut mencerminkan bahwa negara masih memiliki kemampuan untuk mencegah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak berpengaruh.
Namun, penangkapan ini juga mengangkat isu yang lebih mendalam, yaitu ketidakadilan dalam perlakuan hukum. Sebagaimana disoroti oleh ahli hukum Hardjuno Wiwoho, obligor dengan utang sebesar Rp 29 triliun hanya dijerat kasus perdata, sementara pelaku kejahatan ekonomi yang nilainya jauh lebih kecil bisa langsung dijatuhi hukuman pidana. Ketimpangan ini jelas menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi penerapan hukum di Indonesia. Jika kita tidak mampu menegakkan keadilan secara proporsional, bagaimana kita dapat berharap bahwa hukum akan dihormati oleh semua pihak?
BLBI: Sebuah Ujian Ketegasan Pemerintah
BLBI bukan sekadar skandal keuangan, melainkan sebuah ujian bagi ketegasan pemerintah dalam menghadapi kasus yang melibatkan aktor-aktor besar. Sejak krisis ekonomi 1997-1998, pemerintah telah memberikan berbagai kesempatan kepada obligor untuk menyelesaikan kewajiban mereka. Namun, lebih dari dua dekade berlalu, kewajiban tersebut masih belum diselesaikan secara memadai.
Pada kasus Grup Texmaco yang dipimpin oleh Marimutu, pemerintah telah berulang kali melakukan restrukturisasi utang, memberikan dukungan berupa penerbitan *letter of credit* (L/C), hingga menyita aset perusahaan. Namun, hingga hari ini, hasilnya masih jauh dari harapan. Marimutu sendiri mengklaim bahwa Texmaco tidak pernah menerima BLBI, tetapi dia mengakui memiliki utang komersial sebesar Rp 8 triliun. Fakta bahwa obligor masih bisa menghindar dari kewajiban hukumnya selama bertahun-tahun, meski negara telah melakukan berbagai upaya, mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku besar.
Membangun Keadilan: Menggagas Pendekatan Progresif
Sudah menjadi keharusan bahwa kasus BLBI ditangani dengan pendekatan hukum yang lebih progresif. Sebagaimana disampaikan oleh Hardjuno Wiwoho, meski secara doktrin hukum utang seperti yang dialami Marimutu mungkin dipandang sebagai persoalan perdata, nilai utang sebesar Rp 29 triliun tidak bisa dianggap remeh. Upaya pelarian Marimutu menunjukkan indikasi bahwa niat untuk menghindar dari kewajiban sangatlah kuat. Ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak hanya memandang kasus ini sebagai urusan utang-piutang, tetapi juga mempertimbangkan penerapan sanksi pidana demi keadilan.
Pendekatan hukum yang lebih tegas dan progresif tidak hanya diperlukan untuk menuntaskan kasus ini, tetapi juga untuk mengirim pesan yang jelas kepada publik bahwa negara tidak akan tunduk kepada kekuatan uang atau pengaruh politik. Jika negara tidak mampu menegakkan keadilan dengan proporsional, maka akan tercipta kesan yang tak baik. Seolah hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah, sementara pelaku dengan kekuatan besar bisa lolos dengan mudah. Ini adalah ancaman serius bagi integritas hukum di Indonesia.