Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Ngopi di Kafe Mahal Itu Meditasi Ego, atau Keseimbangan Dompet?

10 September 2024   11:25 Diperbarui: 10 September 2024   16:30 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngopi di kafe mahal itu seperti meditasi ego --- berapa pun tingginya, yang penting, jangan sampai dompetmu kehilangan keseimbangan | Instagram/thesumofus

"Ngopi bukan hanya tentang menikmati rasa, tapi tentang momen kita menyadari bahwa setiap tegukan, baik yang mahal atau murah, mengajarkan kita untuk bersyukur atas setiap pengalaman - dan mungkin, untuk sedikit lebih bijaksana dalam memilih tempat ngopi."

Pada suatu pagi yang cerah, di sebuah kafe bergaya industrial yang ramai dipenuhi oleh hiruk-pikuk suara mesin espresso, tiga orang dari kelas sosial yang berbeda duduk di pojokan. Mereka tidak saling kenal, namun satu hal yang sama-sama mereka lakukan: ngopi.

Yang pertama, seorang pria berdasi yang tampak seperti eksekutif muda. Dia duduk sambil mengaduk-aduk flat white-nya. "Ngopi di kafe mewah ini, bukan sekadar soal kopi," batinnya. "Ini meditasi modern. Setiap tegukan seharga makan siang buruh, tapi hei, ini kan investasi spiritual buat mengenal diri. Apalagi kalau di-posting dengan caption yang dalam, siapa tahu follower bertambah."

Baca juga: Negeri di Atas Awan

Sambil mendengarkan alunan jazz yang lembut dari sudut ruangan, dia mulai merenung, "Apa sebenarnya makna hidup ini? Ah, mungkin aku bisa menemukannya dalam secangkir kopi seharga empat lembar uang seratus ribu ini. Atau setidaknya, dalam like dan komen teman-teman di Instagram." Sambil menyesap kopinya, senyum puas tersungging. Misi validasi sosial: sukses.

Di meja sebelahnya, seorang pemuda dengan jaket kulit dan sneakers kekinian sedang sibuk memotret cangkir cappuccino-nya. Setelah beberapa kali mencoba angle yang pas, ia akhirnya mengunggahnya di story dengan hashtag #MondayGrind. "Kopi bukan lagi soal rasa, bro," gumamnya sambil mengangguk-angguk. "Ini soal bagaimana kita peras pengalaman, biar terlihat sibuk dan relevan. Semua orang harus tahu aku ngopi di sini, di kafe mahal ini. Ah, semoga ada diskon biar enggak terlalu nyesek."

Sementara itu, di sudut lain, seorang bapak-bapak dengan kaos sederhana yang tampak baru pertama kali masuk ke kafe fancy ini sedang melihat-lihat menu dengan penuh pertimbangan. "Hmmm, kopi di sini bisa buat bayar listrik sebulan," pikirnya sambil garuk-garuk kepala. Tapi akhirnya, dengan mantap dia memesan. Satu kali seumur hidup, demi konten. "Kalau enggak maksain naik kelas begini, kapan lagi bisa dapet foto keren buat di-posting. Lagian, siapa tahu besok aku jadi viral."

Setelah menerima kopinya, bapak itu mendekati meja tempat colokan listrik terdekat. "Setidaknya kalau ngopi di kafe mahal, kita bisa ngecas hape gratis," gumamnya puas sambil membuka aplikasi media sosialnya.

Tak jauh dari mereka, seorang barista muda yang memperhatikan tingkah ketiga orang itu dari balik meja kasir hanya bisa tersenyum. "Lucu juga ya," pikirnya, "Orang ngopi di sini bukan untuk hilangin kantuk, tapi lebih karena dorongan ego masing-masing. Yang satu sibuk cari makna hidup, yang satu sibuk cari angle foto, yang satu lagi sibuk cari likes buat caption puitis. Tapi ya sudahlah, mereka semua berkontribusi buat bayar gaji aku."

Lalu, barista itu tiba-tiba tertawa kecil. "Bayangin aja," katanya pada rekannya, "Orang kelas atas ngopi untuk experience, orang kelas menengah ngopi biar tetap relevant, dan orang yang baru pertama kali datang ngopi cuma demi diskon. Dunia kopi memang lucu!"

Sambil membersihkan meja, dia menambahkan, "Ngopi mahal itu kayak beli tiket konser VIP. Cuma bedanya, konsernya buat ego, penontonnya cuma diri sendiri, dan ending-nya sering kali pahit... kayak kopinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun