"Ngopi bukan hanya tentang menikmati rasa, tapi tentang momen kita menyadari bahwa setiap tegukan, baik yang mahal atau murah, mengajarkan kita untuk bersyukur atas setiap pengalaman - dan mungkin, untuk sedikit lebih bijaksana dalam memilih tempat ngopi."
Pada suatu pagi yang cerah, di sebuah kafe bergaya industrial yang ramai dipenuhi oleh hiruk-pikuk suara mesin espresso, tiga orang dari kelas sosial yang berbeda duduk di pojokan. Mereka tidak saling kenal, namun satu hal yang sama-sama mereka lakukan: ngopi.
Yang pertama, seorang pria berdasi yang tampak seperti eksekutif muda. Dia duduk sambil mengaduk-aduk flat white-nya. "Ngopi di kafe mewah ini, bukan sekadar soal kopi," batinnya. "Ini meditasi modern. Setiap tegukan seharga makan siang buruh, tapi hei, ini kan investasi spiritual buat mengenal diri. Apalagi kalau di-posting dengan caption yang dalam, siapa tahu follower bertambah."
Sambil mendengarkan alunan jazz yang lembut dari sudut ruangan, dia mulai merenung, "Apa sebenarnya makna hidup ini? Ah, mungkin aku bisa menemukannya dalam secangkir kopi seharga empat lembar uang seratus ribu ini. Atau setidaknya, dalam like dan komen teman-teman di Instagram." Sambil menyesap kopinya, senyum puas tersungging. Misi validasi sosial: sukses.
Di meja sebelahnya, seorang pemuda dengan jaket kulit dan sneakers kekinian sedang sibuk memotret cangkir cappuccino-nya. Setelah beberapa kali mencoba angle yang pas, ia akhirnya mengunggahnya di story dengan hashtag #MondayGrind. "Kopi bukan lagi soal rasa, bro," gumamnya sambil mengangguk-angguk. "Ini soal bagaimana kita peras pengalaman, biar terlihat sibuk dan relevan. Semua orang harus tahu aku ngopi di sini, di kafe mahal ini. Ah, semoga ada diskon biar enggak terlalu nyesek."
Sementara itu, di sudut lain, seorang bapak-bapak dengan kaos sederhana yang tampak baru pertama kali masuk ke kafe fancy ini sedang melihat-lihat menu dengan penuh pertimbangan. "Hmmm, kopi di sini bisa buat bayar listrik sebulan," pikirnya sambil garuk-garuk kepala. Tapi akhirnya, dengan mantap dia memesan. Satu kali seumur hidup, demi konten. "Kalau enggak maksain naik kelas begini, kapan lagi bisa dapet foto keren buat di-posting. Lagian, siapa tahu besok aku jadi viral."
Setelah menerima kopinya, bapak itu mendekati meja tempat colokan listrik terdekat. "Setidaknya kalau ngopi di kafe mahal, kita bisa ngecas hape gratis," gumamnya puas sambil membuka aplikasi media sosialnya.
Tak jauh dari mereka, seorang barista muda yang memperhatikan tingkah ketiga orang itu dari balik meja kasir hanya bisa tersenyum. "Lucu juga ya," pikirnya, "Orang ngopi di sini bukan untuk hilangin kantuk, tapi lebih karena dorongan ego masing-masing. Yang satu sibuk cari makna hidup, yang satu sibuk cari angle foto, yang satu lagi sibuk cari likes buat caption puitis. Tapi ya sudahlah, mereka semua berkontribusi buat bayar gaji aku."
Lalu, barista itu tiba-tiba tertawa kecil. "Bayangin aja," katanya pada rekannya, "Orang kelas atas ngopi untuk experience, orang kelas menengah ngopi biar tetap relevant, dan orang yang baru pertama kali datang ngopi cuma demi diskon. Dunia kopi memang lucu!"
Sambil membersihkan meja, dia menambahkan, "Ngopi mahal itu kayak beli tiket konser VIP. Cuma bedanya, konsernya buat ego, penontonnya cuma diri sendiri, dan ending-nya sering kali pahit... kayak kopinya."