Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menemukan Hakikat Ilmu: Antara Kesombongan, Ketawadhu'an, dan Kesadaran Diri

14 September 2024   06:07 Diperbarui: 14 September 2024   06:09 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu yang membawa kesombongan adalah ilusi, ilmu yang membawa kerendahan hati adalah pencerahan.|Foto: genmuslim.id

"Ilmu yang sejati bukanlah yang membuat kita merasa tinggi, tetapi yang merendahkan hati dan menyadarkan kita bahwa pengetahuan kita hanyalah setetes di lautan ilmu-Nya."

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an pernah mengingatkan kita, “... Kamu hanya diberi sedikit pengetahuan”*(QS. Al-Isra 17: 85). Ayat ini mengingatkan kita bahwa betapapun hebat dan luasnya ilmu yang kita miliki, pada hakikatnya, ia hanya setetes di lautan kebesaran dan keluasan pengetahuan Allah yang Maha Mengetahui.

Sesungguhnya ilmu yang kita miliki adalah amanah dari-Nya, yang diberikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk membawa kebaikan bagi sesama. Namun, seringkali manusia terjebak dalam ilusi bahwa ilmu yang mereka miliki adalah segalanya, sehingga timbul rasa sombong dan ujub di dalam hati.

Tiga Level Ilmu

Ilmu, sebagaimana perjalanan kehidupan, memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tiga level yang sering diungkapkan oleh para ulama dalam perjalanan ilmu ini. Setiap level membawa karakteristik dan ujian yang berbeda bagi para penuntutnya.

Level Pertama: Ilusi Kesombongan

Ketika seseorang mulai memasuki level pertama ilmu, ia merasa telah mengetahui segalanya. Rasa kibr (sombong) menyelinap, membuatnya merasa lebih pintar, lebih alim, dan lebih unggul dari orang lain. Dalam keadaan ini, banyak orang terjebak dalam perdebatan tiada akhir, menghujat sesama, dan sibuk menilai kekurangan orang lain. Mereka meyakini bahwa mereka telah berada di puncak ilmu, padahal baru saja menginjak langkah pertama.

Na’udzu billah min dzaalik. Sikap seperti ini adalah jebakan pertama bagi para penuntut ilmu. Seorang ulama besar pernah berkata, "Orang yang ilmunya hanya di permukaan, biasanya yang paling banyak berbicara dan berdebat." Persis seperti "Tong kosong nyaring bunyinya". Mereka juga menikmati suasana perdebatan itu. Memamerkan dalil-dalil yang dikuasainya, dan menikmati dengan kepuasan bila mampu memenangkan perdebatan.

Di sinilah ujian awal ilmu: mampukah seseorang menahan diri dari merasa lebih tinggi daripada yang lain? Inilah fase di mana kebanyakan manusia tersesat dan terlena.

Level Kedua: Kesadaran Tawadhu'

Hanya mereka yang diberi taufik oleh Allah yang mampu melampaui fase pertama dan mencapai level kedua. Di sini, seseorang mulai merasakan ketawadhu'an (kerendahan hati). Ia mulai memahami betapa luasnya ilmu dan betapa sedikitnya yang ia ketahui. Ia sadar bahwa setiap langkah dalam ilmu membawa lebih banyak pintu yang belum terbuka, dan kesombongan yang pernah ia rasakan dahulu mulai menghilang.

Pada level ini, seseorang mulai menempatkan ilmu pada tempatnya, menghargai perbedaan pendapat yang bisa ditoleransi, dan membuka banyak perspektif. Open minded, mampu untuk berpikir secara terbuka terhadap berbagai macam ide, gagasan, informasi, maupun argumen. Ia lebih senang untuk banyak menyimak, belajar, dan mencatatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun