"Ilmu yang sejati bukanlah yang membuat kita merasa tinggi, tetapi yang merendahkan hati dan menyadarkan kita bahwa pengetahuan kita hanyalah setetes di lautan ilmu-Nya."
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an pernah mengingatkan kita, “... Kamu hanya diberi sedikit pengetahuan”*(QS. Al-Isra 17: 85). Ayat ini mengingatkan kita bahwa betapapun hebat dan luasnya ilmu yang kita miliki, pada hakikatnya, ia hanya setetes di lautan kebesaran dan keluasan pengetahuan Allah yang Maha Mengetahui.
Sesungguhnya ilmu yang kita miliki adalah amanah dari-Nya, yang diberikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk membawa kebaikan bagi sesama. Namun, seringkali manusia terjebak dalam ilusi bahwa ilmu yang mereka miliki adalah segalanya, sehingga timbul rasa sombong dan ujub di dalam hati.
Tiga Level Ilmu
Ilmu, sebagaimana perjalanan kehidupan, memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tiga level yang sering diungkapkan oleh para ulama dalam perjalanan ilmu ini. Setiap level membawa karakteristik dan ujian yang berbeda bagi para penuntutnya.
Level Pertama: Ilusi Kesombongan
Ketika seseorang mulai memasuki level pertama ilmu, ia merasa telah mengetahui segalanya. Rasa kibr (sombong) menyelinap, membuatnya merasa lebih pintar, lebih alim, dan lebih unggul dari orang lain. Dalam keadaan ini, banyak orang terjebak dalam perdebatan tiada akhir, menghujat sesama, dan sibuk menilai kekurangan orang lain. Mereka meyakini bahwa mereka telah berada di puncak ilmu, padahal baru saja menginjak langkah pertama.
Na’udzu billah min dzaalik. Sikap seperti ini adalah jebakan pertama bagi para penuntut ilmu. Seorang ulama besar pernah berkata, "Orang yang ilmunya hanya di permukaan, biasanya yang paling banyak berbicara dan berdebat." Persis seperti "Tong kosong nyaring bunyinya". Mereka juga menikmati suasana perdebatan itu. Memamerkan dalil-dalil yang dikuasainya, dan menikmati dengan kepuasan bila mampu memenangkan perdebatan.
Di sinilah ujian awal ilmu: mampukah seseorang menahan diri dari merasa lebih tinggi daripada yang lain? Inilah fase di mana kebanyakan manusia tersesat dan terlena.
Level Kedua: Kesadaran Tawadhu'
Hanya mereka yang diberi taufik oleh Allah yang mampu melampaui fase pertama dan mencapai level kedua. Di sini, seseorang mulai merasakan ketawadhu'an (kerendahan hati). Ia mulai memahami betapa luasnya ilmu dan betapa sedikitnya yang ia ketahui. Ia sadar bahwa setiap langkah dalam ilmu membawa lebih banyak pintu yang belum terbuka, dan kesombongan yang pernah ia rasakan dahulu mulai menghilang.
Pada level ini, seseorang mulai menempatkan ilmu pada tempatnya, menghargai perbedaan pendapat yang bisa ditoleransi, dan membuka banyak perspektif. Open minded, mampu untuk berpikir secara terbuka terhadap berbagai macam ide, gagasan, informasi, maupun argumen. Ia lebih senang untuk banyak menyimak, belajar, dan mencatatnya.
Disini ia mulai menghormati ulama dan para sesepuh yang telah mendahuluinya. Inilah saat di mana hati mulai terbuka untuk memahami hakikat ilmu, yaitu bukan untuk membanggakan diri, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menebarkan kebaikan di tengah umat.
Level Ketiga: Pengakuan Akan Ketidaktahuan
Level ketiga adalah puncak kesadaran seorang ulama sejati. Mereka yang mencapai level ini, bukan hanya tajam dalam ilmunya, tetapi juga kokoh dalam bashirah (pandangan yang mendalam). Para ulama di level ini menyadari bahwa sesungguhnya mereka tidak mengetahui apapun, kecuali sedikit sekali. Inilah yang dikatakan oleh Imam Az-Zuhri ketika ia berkata, “Aku terus menuntut ilmu, hingga aku merasa cukup dengan apa yang telah kuraih, hingga aku bertemu dengan Ubaidullah bin Utbah. Akhirnya aku sadar, bahwa aku belum meraih (ilmu) apapun.”
Para ulama di level ini tidak lagi membanggakan ilmu mereka. Mereka justru menjadi pelita bagi yang lain, mengajarkan ilmu dengan kerendahan hati, memimpin generasi baru untuk menapaki jalan yang benar dalam menuntut ilmu. Seperti pelita yang menerangi jalan dalam kegelapan, mereka menjadi cahaya di tengah kebodohan, kebingungan, dan fanatisme buta.
Cermin dari Salafus Salih
Mari kita berkaca kepada para salafus salih (para pendahulu yang salih), generasi yang mencontohkan keteladanan dalam menuntut ilmu. Mereka memulai langkah dengan niat yang lurus, berjuang untuk ilmu yang bermanfaat, dan bukan untuk ilmu yang menyesatkan. Az-Zuhri, Ubaidullah bin Utbah, dan para fuqaha (para ahli fiqih) lainnya adalah contoh bagaimana ketekunan dalam menuntut ilmu diiringi dengan kesadaran akan kebesaran Allah dan kerendahan manusia di hadapan-Nya.
Kesimpulan
Perjalanan ilmu adalah perjalanan yang panjang, penuh ujian, dan penuh tantangan. Kita mungkin merasa tahu banyak, namun sejatinya kita hanya mengetahui sedikit. Karena itu, mari kita hiasi diri dengan ketawadhu'an, mengakui keterbatasan kita, dan terus berusaha menambah ilmu dengan niat yang ikhlas. Ilmu yang sejati tidak akan membawa kita pada kesombongan, tetapi akan membawa kita lebih dekat kepada Allah dan kepada kebenaran.
Sebagaimana kata-kata hikmah, "Ilmu yang tidak disertai dengan ketawadhu'an adalah racun yang mematikan." Mari kita luruskan niat, hargai ilmu, dan jadikan setiap pengetahuan yang kita raih sebagai jalan menuju ridha-Nya. Karena pada akhirnya, kita tidak mengetahui apapun dari ilmu kecuali sedikit sekali.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H