Kandidat dengan dukungan kuat dari elit partai cenderung diusung meskipun belum tentu populer atau kompeten di mata masyarakat.Â
Hal ini memunculkan paradoks dalam demokrasi: seolah-olah ada ruang kompetisi, tetapi yang terjadi justru adalah penguatan oligarki politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah seharusnya menjadi angin segar bagi demokrasi.Â
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kompromi antar-elit politik sudah terjadi jauh sebelum putusan itu keluar. Partai-partai kecil pun sulit bersaing karena ruang politik sudah dikuasai oleh koalisi besar yang lebih memprioritaskan kepentingan elit daripada membuka ruang bagi munculnya alternatif calon.
Demokrasi Tanpa Kontestasi Sehat: Risiko Bagi Masa Depan
Penting untuk disadari bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan kontestasi yang adil dan kompetitif. Fenomena calon tunggal dan dominasi elit dalam proses politik tidak hanya merugikan sistem demokrasi, tetapi juga mengerdilkan esensi dari demokrasi itu sendiri.Â
Calon tunggal melawan kotak kosong, yang secara hukum sah, justru memperlihatkan kemunduran demokrasi, karena publik tidak diberikan pilihan yang berarti.
Meskipun demokrasi prosedural tetap berjalan, substansinya hilang. Pemimpin yang muncul dari proses ini belum tentu memiliki kapasitas untuk membawa perubahan yang diperlukan oleh masyarakat.Â
Tanpa adanya kompetisi yang sehat, kualitas pemimpin yang dihasilkan menjadi dipertanyakan, dan pada akhirnya, hal ini akan berdampak pada kualitas kebijakan publik yang diambil.
Solusi: Membangun Sistem Politik yang Lebih Kaderisasi dan Kompetitif
Indonesia membutuhkan pembenahan menyeluruh dalam sistem politiknya. Partai politik harus lebih serius dalam menjalankan kaderisasi — bukan sekadar sebagai formalitas, tetapi sebagai proses jangka panjang yang melibatkan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan evaluasi yang ketat terhadap setiap calon. Partai harus menjadi laboratorium pemimpin, bukan sekadar alat untuk memenangkan kekuasaan.