Menurutnya, upaya ini terlihat jelas pasca-putusan MK terkait ambang batas pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah, yang menutup peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh hasil survei lainnya sebelumnya yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR yang relatif rendah. Dalam survei CSIS (2023), misalnya, kepercayaan publik terhadap DPR hanya mencapai 58,8%, sedangkan survei lain pada tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 82% masyarakat tidak percaya pada DPR, baik di kalangan kelas bawah, menengah, maupun atas. Angka-angka ini mencerminkan bahwa ada krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi rakyat.
Implikasi Terhadap Demokrasi dan Penegakan Hukum
Jika evaluasi terhadap MK dilakukan tanpa dasar yang kuat dan independen, maka ada risiko bahwa DPR akan mengubah struktur dan peran MK sedemikian rupa sehingga justru melemahkan fungsi pengawasan konstitusionalnya. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia membutuhkan lembaga peradilan yang independen dan berani untuk menegakkan konstitusi, termasuk ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Lebih jauh lagi, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang direncanakan oleh DPR juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya untuk mengurangi kewenangan MK dalam mengawal demokrasi. DPR, sebagai pembuat undang-undang, seharusnya berperan dalam memperkuat, bukan melemahkan, sistem hukum dan konstitusi. Menyikapi hal ini, Charles Simabura, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dalam sebuah kesempatan pernah menegaskan bahwa langkah DPR ini mencerminkan lebih banyak kepentingan politik ketimbang pertimbangan hukum yang obyektif.
Transisi Menuju Demokrasi yang Lebih Kuat dan Tangguh
Dalam menghadapi situasi ini, sangat penting bagi para pemimpin dan pembuat kebijakan untuk mendengarkan aspirasi dan kekhawatiran publik. Proses evaluasi terhadap institusi negara, termasuk MK, harus dilakukan dengan transparansi, objektivitas, dan dengan tujuan untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia, bukan sebaliknya. Masyarakat sipil, akademisi, dan para pakar hukum harus dilibatkan dalam proses ini untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan kepentingan terbaik bangsa.
Sebagai negara dengan sejarah panjang perjuangan demokrasi, Indonesia harus memastikan bahwa semua lembaga negara berfungsi sesuai dengan mandat konstitusionalnya. Evaluasi yang dilakukan dengan niat baik dan berdasarkan kajian yang mendalam dapat memperkuat sistem ketatanegaraan dan menjaga keseimbangan kekuasaan.
Namun, jika langkah ini lebih banyak dipicu oleh kepentingan politik jangka pendek, maka hal ini justru dapat merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Kesimpulan: Menjaga Keutuhan Demokrasi Melalui Transparansi dan Dialog
Langkah DPR untuk mengevaluasi posisi MK, meskipun memiliki landasan hukum, harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan tanggung jawab. Evaluasi ini seharusnya tidak menjadi alat untuk menekan atau melemahkan lembaga yang berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi. Dalam hal ini, transparansi, dialog terbuka, dan keterlibatan publik menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan benar-benar untuk memperkuat, bukan merusak, demokrasi Indonesia.