Di antara sunyi yang meresap, ketika jiwa mulai menyadari bahwa akhir perjalanan telah dekat, air mata tak terasa menetes. Hangat membasahi pipi. Ini bukan air mata biasa, melainkan tangisan yang penuh makna. Isakan yang mencerminkan kesadaran akan nasib yang tak dapat dielakkan.
Tangisan akhir kehidupan adalah jeritan sunyi dari mereka yang menyadari betapa beratnya perjalanan setelah kehidupan dunia ini. Perjalanan yang harus dilalui setiap jiwa menuju keabadian.
Tangisan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: Refleksi Jauhnya Perjalanan
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, seorang sahabat Nabi yang setia, ketika ajal menjemput, beliau menangis. Saat ditanya mengapa beliau menangis, jawabnya menggetarkan hati: "Jauhnya perjalanan, sedikitnya bekal, dan banyaknya rintangan yang menyulitkan (di Akhirat), dan tempat kembalinya adalah Surga atau Neraka."
Dalam kalimat yang sederhana namun mendalam ini, Abu Hurairah mengingatkan kita akan perjalanan panjang yang harus dilalui setelah kematian. Sebuah perjalanan menuju alam barzakh, yang dipenuhi dengan ujian, hingga tiba saat perhitungan amal. Betapa jauhnya perjalanan ini, dan betapa sedikit bekal yang telah kita siapkan.
Ibrahim an-Nakha'i: Ketakutan Menunggu Keputusan
Tatkala akan wafat, Ibrahim an-Nakha'i juga menangis. Beliau ditanya, "Apa yang membuatmu menangis wahai Abu 'Imran?" Dengan penuh rasa takut, beliau menjawab, "Aku ini sedang menunggu datangnya Malaikat Maut, sedangkan aku tidak tahu apakah ia akan memberikan kabar Surga atau Neraka kepadaku."
Betapa besar ketakutan yang dirasakan seorang yang telah hidup dalam ketaatan, namun tetap merasa belum cukup dalam persiapan menghadapi Sang Pencipta.
Muhammad bin Sirin rahimahullah : Menangis Karena Kelalaian
Muhammad bin Sirin rahimahullah seorang tabi'in yang dikenal dengan kearifannya, juga menangis saat mendekati ajalnya. Ketika ditanya alasan tangisannya, ia menjawab: "Aku menangis karena kelalaianku pada hari-hari yang lalu, sedikitnya amalanku untuk meraih Surga Yang Tinggi, dan menyelamatkanku dari Neraka yang panas."
Tangisan ini bukan sekadar tangisan penyesalan, tetapi juga pengingat bagi kita semua akan kelalaian yang sering kita biarkan terjadi. Kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, hingga sering lupa menyiapkan bekal untuk perjalanan yang hakiki.
Mereka, para sahabat dan tabi'in yang telah jelas ketaatan dan ketakwaannya, masih merasa khawatir dan takut akan siksa api Neraka.
Renungan Bagi Kita yang Lalai
Lalu, bagaimana dengan kita, yang sering lalai dan tenggelam dalam dosa serta kemaksiatan? Jika mereka yang telah jelas keimanan dan ketaatannya masih menangis karena takut akan penghakiman Allah, seharusnya kita lebih banyak menangis dan meratapi nasib kita.
Mereka menangis karena merasa amal mereka sedikit, lalu bagaimana dengan kita yang amalnya jauh lebih sedikit, bahkan terkadang lebih banyak dosa daripada amal kebaikan?
Mengapa Kita Tidak Menangis?
Tangisan akhir kehidupan bukanlah sekadar air mata penyesalan, melainkan panggilan jiwa untuk merenungkan kembali kehidupan yang telah kita jalani. Apakah kita telah mempersiapkan bekal yang cukup untuk perjalanan panjang ini? Apakah kita telah berusaha sekuat tenaga untuk meraih rahmat dan ampunan Allah? Atau justru kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, lupa bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang tak akan pernah kembali?
Ketika Abu Hurairah radhiyallahu `anhu menangis karena jauhnya perjalanan, kita diingatkan bahwa akhirat bukanlah tujuan yang mudah dicapai. Ketika Muhammad bin Sirin rahimahullah menangis karena sedikitnya amalan, kita disadarkan bahwa amal kita begitu rapuh, begitu sedikit, dan seringkali tidak ikhlas. Dan ketika Ibrahim an-Nakha'i menangis karena ketakutan akan keputusan akhir, kita diingatkan akan ketidakpastian nasib kita kelak.
Kesadaran dan Kembali ke Jalan Allah
Tangisan mereka bukan hanya sekadar ekspresi kesedihan, tetapi sebuah cerminan dari kesadaran mendalam akan keagungan Allah, dan kehinaan diri. Kesadaran inilah yang seharusnya kita tanamkan dalam hati kita. Karena tangisan akhir kehidupan bukan sekadar tentang penyesalan, tetapi tentang kesadaran untuk segera kembali. Lalu bergegas memperbaiki diri, dan memperbanyak amal kebaikan sebagai bekal untuk perjalanan panjang menuju akhirat.
Tangisan akhir kehidupan adalah panggilan untuk beristighfar, bertobat dengan sungguh-sungguh, dan kembali ke jalan Allah. Ini adalah panggilan untuk mengisi sisa waktu yang kita miliki dengan amal yang bermanfaat, dengan ibadah yang ikhlas, dengan doa yang tulus, dan dengan sedekah yang ikhlas. Ini adalah kesempatan untuk meraih rahmat Allah dan berlindung dari siksa-Nya.
Penutup: Sebuah Ajakan untuk Merenungi dan Berubah
"Jika Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dan para tabi'in yang mulia menangis di akhir hayat mereka karena takut akan siksa Allah, lalu bagaimana dengan kita yang sering lalai? Tangisan bukanlah kelemahan, melainkan cermin keinsafan dan ajakan untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan-Nya."
Mari kita renungkan, mari kita bermuhasabah, dan mari kita menangis. Menangis bukan karena takut mati, tetapi menangis karena takut tidak siap menghadapi kehidupan setelah mati.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa tangisan akhir kehidupan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan iman yang menyadari kelemahan diri dan kebesaran Allah.
Mari kita tangisi dosa-dosa kita, mari kita tangisi kelalaian kita, dan mari kita kembali kepada-Nya dengan penuh penyesalan dan harapan akan ampunan-Nya.
Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk selalu mengingat-Nya, untuk selalu bersiap, dan untuk selalu berada di jalan-Nya yang lurus. Juga untuk selalu memperbaiki diri, meningkatkan amal, dan meraih Surga-Nya yang kekal. Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H