"Kreativitas sejati tak dapat diukur oleh algoritma, karena ia lahir dari kebebasan jiwa, bukan dari sekadar angka dan data."
Di sebuah gedung pemerintah yang megah, sekelompok penulis berkumpul. Mereka bukan sekadar penulis, tapi juga 'data'. Data yang akan dianalisis, dikategorikan, dan diberi nilai. Para penulis ini, dengan segala idealismenya, telah menjadi obyek dari sebuah proyek besar: 'Kalkulator Kreativitas'.
Proyek ini bertujuan untuk mengukur tingkat 'kebergunaan' seorang penulis. Bukan berdasarkan kualitas karya, melainkan berdasarkan seberapa 'viral' atau 'relevan' tema yang mereka angkat. Setiap penulis diminta untuk menuliskan sebuah kutipan yang merepresentasikan perjuangan mereka sebagai seorang penulis. Kutipan ini akan menjadi 'input data' yang kemudian akan diolah oleh sebuah algoritma canggih.
Beberapa penulis ternyata menuliskan cukup menggelitik, dan ini beberapa bocoran yang didapat dari 10 penulis :
1. "Jadi penulis itu kayak jadi pahlawan tanpa jubah, cuma diganti dengan laptop dan segelas kopi. Berjuang melawan deadline dan algoritma, tapi imbalannya cuma secuil pujian dan secangkir kopi pahit."
2. "Menjadi penulis di era kapitalis itu seperti mencoba mengisi lautan dengan tetesan tinta. Semakin banyak kita tulis, semakin sedikit yang terlihat."
3. "Penulis itu kayak tukang kebun yang menanam benih kata-kata, tapi yang menikmati hasilnya malah hama plagiarisme."
4. "Dulu, penulis dianggap visioner. Sekarang, penulis dianggap freelancer yang enggak jelas penghasilannya."
5. "Apa bedanya penulis dengan mesin kopi? Sama-sama menghasilkan sesuatu yang banyak diminum, tapi yang dihargai justru mesinnya."
6. "Apakah karya sastra hanya sekadar komoditas yang diperjualbelikan, atau masih ada nilai seni yang perlu diperjuangkan?"
7. "Jadi penulis itu kayak nge-vlog, cuma yang direkam itu pikiran. Bedanya? Kalau nge-vlog bisa viral, kalau nulis bisa viral di hati para pembaca yang enggak punya akun TikTok."
8. "Zaman now, jadi penulis itu harus punya banyak akun media sosial. Bukan lagi ngebangun dunia, tapi ngebangun followers."
9. "Penulis itu kayak pahlawan super yang punya kekuatan kata-kata, tapi kelemahannya adalah harga buku yang selangit dan royalti yang seujung kuku."
10. "Kalau jadi penulis sukses itu kayak menang lotre, cuma hadiahnya bukan uang tapi insomnia akut dan kerutan di wajah karena terlalu banyak mikir."
Tiga Minggu Kemudian.....
Tiga minggu kemudian, para penulis kembali berkumpul. Suasana tegang menyelimuti ruangan. Satu per satu nama dipanggil, diikuti dengan pengumuman level paket bantuan yang akan mereka terima.
Ternyata, paket bantuan terbesar justru diberikan kepada penulis yang kutipannya paling 'netral' dan 'aman'. Penulis yang berani mengkritik sistem justru mendapatkan paket terkecil.
Ternyata, algoritma tersebut telah 'dilatih' untuk mencari kata-kata kunci tertentu yang dianggap 'positif' dan 'produktif'. Kutipan-kutipan yang terlalu kritis atau menyindir sistem justru dianggap 'negatif' dan 'mengganggu'.
Salah seorang penulis, dengan nada getir, berkata, "Jadi, selama ini kita bukan lagi manusia yang menciptakan karya, tapi data yang diolah oleh mesin. Kreativitas kita diukur dengan algoritma, dan nilai kita ditentukan oleh pasar."
Sejak saat itu, para penulis mulai menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya melawan rintangan eksternal seperti pasar dan industri penerbitan, tetapi juga melawan sistem yang berusaha mengukur dan mengendalikan kreativitas mereka. Mereka mulai membangun jaringan solidaritas yang lebih kuat, berbagi karya secara bebas di luar platform-platform komersial, dan terus berjuang untuk mempertahankan otonomi mereka sebagai seorang penulis.
Penulis Merdeka
Setengah tahun kemudian, para penulis yang dulu berada di bawah bayang-bayang algoritma akhirnya kompak untuk melawan. Mereka mendirikan sebuah platform mandiri yang dinamakan "Penulis Merdeka"- sebuah ruang di mana kata-kata mereka tak lagi diukur oleh angka, melainkan dihargai dengan sepenuh hati. Bersama-sama, mereka juga menerbitkan sebuah buku antologi yang penuh dengan tulisan-tulisan tajam dan reflektif.
Menariknya, buku tersebut dibuka dengan sebuah pengantar dari seorang politisi yang tengah mencalonkan diri sebagai gubernur. Dalam sambutannya, ia menulis dengan penuh semangat, "Cerita ini menyindir bagaimana kreativitas dan seni seringkali dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. Algoritma yang seharusnya menjadi alat bantu justru menjadi alat untuk mengontrol dan mengeksploitasi para kreator. Cerita ini mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap sistem yang ada dan memperjuangkan kebebasan berekspresi."
Ironisnya, politisi tersebut sebenarnya juga sedang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan algoritma demi meningkatkan popularitas kampanyenya. Ah, betapa dunia ini penuh dengan kejutan! Namun, bagi para penulis, ini adalah langkah kecil menuju kebebasan sejati - dan siapa yang tahu, mungkin suatu hari nanti mereka akan menulis cerita tentang politisi yang akhirnya kalah oleh algoritma ciptaannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H