Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Algoritma Mengukur Kreativitas: Apakah Kita Masih Jadi Penulis?

11 Agustus 2024   12:35 Diperbarui: 11 Agustus 2024   13:48 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setengah tahun kemudian, para penulis yang dulu berada di bawah bayang-bayang algoritma akhirnya kompak untuk melawan. Mereka mendirikan sebuah platform mandiri yang dinamakan "Penulis Merdeka"- sebuah ruang di mana kata-kata mereka tak lagi diukur oleh angka, melainkan dihargai dengan sepenuh hati. Bersama-sama, mereka juga menerbitkan sebuah buku antologi yang penuh dengan tulisan-tulisan tajam dan reflektif.

Menariknya, buku tersebut dibuka dengan sebuah pengantar dari seorang politisi yang tengah mencalonkan diri sebagai gubernur. Dalam sambutannya, ia menulis dengan penuh semangat, "Cerita ini menyindir bagaimana kreativitas dan seni seringkali dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. Algoritma yang seharusnya menjadi alat bantu justru menjadi alat untuk mengontrol dan mengeksploitasi para kreator. Cerita ini mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap sistem yang ada dan memperjuangkan kebebasan berekspresi."

Ironisnya, politisi tersebut sebenarnya juga sedang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan algoritma demi meningkatkan popularitas kampanyenya. Ah, betapa dunia ini penuh dengan kejutan! Namun, bagi para penulis, ini adalah langkah kecil menuju kebebasan sejati - dan siapa yang tahu, mungkin suatu hari nanti mereka akan menulis cerita tentang politisi yang akhirnya kalah oleh algoritma ciptaannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun