Setengah tahun kemudian, para penulis yang dulu berada di bawah bayang-bayang algoritma akhirnya kompak untuk melawan. Mereka mendirikan sebuah platform mandiri yang dinamakan "Penulis Merdeka"- sebuah ruang di mana kata-kata mereka tak lagi diukur oleh angka, melainkan dihargai dengan sepenuh hati. Bersama-sama, mereka juga menerbitkan sebuah buku antologi yang penuh dengan tulisan-tulisan tajam dan reflektif.
Menariknya, buku tersebut dibuka dengan sebuah pengantar dari seorang politisi yang tengah mencalonkan diri sebagai gubernur. Dalam sambutannya, ia menulis dengan penuh semangat, "Cerita ini menyindir bagaimana kreativitas dan seni seringkali dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. Algoritma yang seharusnya menjadi alat bantu justru menjadi alat untuk mengontrol dan mengeksploitasi para kreator. Cerita ini mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap sistem yang ada dan memperjuangkan kebebasan berekspresi."
Ironisnya, politisi tersebut sebenarnya juga sedang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan algoritma demi meningkatkan popularitas kampanyenya. Ah, betapa dunia ini penuh dengan kejutan! Namun, bagi para penulis, ini adalah langkah kecil menuju kebebasan sejati - dan siapa yang tahu, mungkin suatu hari nanti mereka akan menulis cerita tentang politisi yang akhirnya kalah oleh algoritma ciptaannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H