Kemudian, tanpa pamit yang panjang, jenasah dibawa dengan kaki-kaki yang berjalan kaki. Ratusan jamaah berkumpul di masjid besar, memberikan penghormatan dengan salat yang hikmah. Lalu beriringan, mereka berjalan, menuju tanah pekuburan yang jauh. Menelusuri pematang sawah membelah bumi. Gunung Gede yang ada di hadapan pun menjadi saksi, bersama burung-burung pipit dan semesta alam mereka pun turut bertasbih. Udara pun bersahabat, awan teduh membayangi langkah-langkah menuju peristirahatan terakhir.
Di sana, tiga ustad dari masjid-masjid terdekat bergantian bersama-sama mendoakan sang ibu. Suasana hening, tanpa gemuruh suara, seolah seluruh jamaah merenungkan tentang datangnya kematian yang tak terduga, kapan dan di mana maut akan menjemput, menghadapkan kita pada akhir perjalanan.
Sahabat saya yang berada di sebelah kanan setengah berbisik menyampaikannya dengan santun dan pengharapan. Katanya, "Kita pun nanti akan pulang. Kita tidak tahu, kapan kita akan pulang dan dimana. Juga dalam kondisi seperti apa... Semoga Allah rido saat kita pulang nanti... "
Segera, saya pun merangkul pundaknya, dan hanya bisa diam dan mengangguk saja meresapi kata-katanya yang penuh hikmah dan makna. "Aamiin, aamiin, aamiin ya robbal alaamiin..." Â Â
Nasihat terbaik yang bisa saya sampaikan kepada sahabat saya hanyalah ungkapan hati yang sederhana, bahwa "Harta teragung dan termulia yang bisa menjadi kekuatan terbesar yang dapat kita gunakan untuk menghadapi beban dan beratnya hidup, termasuk kesedihan kehilangan ibunda tercinta, adalah kesabaran."
Semoga, dengan izin Allah, ibunda sahabatku berpulang dengan husnul khotimah, kebaikan yang abadi dan berbahagia di sisi-Nya.
Aamiin, ya Rabbal Alamin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H