Pertama, koordinasi. Sulitnya koordinasi menyebabkan penumpukan logistik dan tidak meratanya bantuan. Ini dapat difahami karena pemberi bantuan.
LSM maupun perusahaan banyak yang terjun langsung memberikan bantuannya ke area terdampak yang terlihat di lokasi bencana. Seperti yang berada di pinggir-pinggir jalan.
Bila ini terjadi tanpa koordinasi dengan pemerintah, maka pendistribusiannya jadi tidak optimal. Padahal, pemerintah adalah pihak berwenang yang memiliki data mengenai daerah yang sudah dan belum tersentuh logistik.
Lengkap dengan gambaran kebutuhan spesifiknya di lapangan. Relawan dan pendonor diharapkan tidak bergerak sendiri dan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Daerah atau BNPB.
Potensi masalah karena kurang koordinasi ini bisa memunculkan kecemburuan antara satu daerah terdampak dengan area terdampak lainnya.
Kedua, lokasi yang sulit diakses. Area terdampak yang tersebar dan luas jadi kendala tersendiri. Dibutuhkan bantuan aparat TNI, Kepolisian, armada helikopter, komunitas motor cross hingga pecinta pendaki gunung untuk bisa mengatasi masalah ini.
Ketiga, masalah komunikasi. Belum lagi tiadanya jaringan komunikasi di awal bencana, selalu menjadi kesulitan tersendiri yang harus segera diatasi.
Pemerintah sedang mendata dan memetakan wilayah yang terdampak dengan segala kebutuhannya, dan di lain pihak masyarakat belum tahu bagaimana cara mengkomunikasikannya. Mereka hanya pasrah menunggu bantuan, khususnya yang terjadi di area yang terisolir.
Karena senyatanya, setiap area terdampak akan mempunyai kebutuhan yang sedikit berbeda. Mulai dari tenda, sanitasi, air bersih, aliran listrik & penerangan, hingga kebutuan khusus lainnya.
Seperti handuk, perlengkapan sanitasi wanita, perlengkapan mandi, selimut, masker, makanan kering dan tidak basi, serta pakaian layak pakai, hingga popok bayi, makanan kering bayi serta kebutuhan khusus bagi ibu yang sedang hamil.
Keempat, masalah administrasi atau birokrasi. Namun terakhir, pemda sendiri sudah memotong birokrasi untuk penyaluran bantuan.