Segala sesuatu akan baik, bila diawali dengan niat yang baik, di tempat yang baik, dengan proses yang baik, dengan cara dan tujuan yang baik, In Syaa Allah semua akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, bila sesuatu diawali dengan kecurangan dan kebohongan hingga rekayasa, maka akan tunggu waktu saja. Semua akan jadi track record dan catatan sejarah.
Prinsip ini, juga berlaku pada konteks kepemimpinan yang saya amati baik di usaha skala kecil, perusahaan besar, BUMN, hingga perusahaan go public, atau pun di level kepemimpinan publik yang lebih luas. Tanda-tanda atau ciri-ciri itu nyaris punya pola yang sama.
9 Tanda Kegagalan Kepemimpinan
Pertama, nampak ambisius sejak awal. Kepemimpinan adalah amanah yang dititipkan pada orang yang punya kapasitas yang besar. Pada kepemimpinan dalam konteks kenegaraan, kapasitas ini setidaknya menyangkut etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas. Sedangkan dalam konteks kepemimpinan bisnis & profesional, kapasitas ini menyangkut etikabilitas, intelektualitas dan profesionalitas. Antara lain dicirikan pada portopolio masa lalu, atau track record di karir dan profesinya.
Orang ambisius ini biasanya hanya fokus pada kepentingan dirinya sendiri dan kelompok pendukungnya. Tak punya konsep yang jelas dalam bekerja, wawasannya sempit, tak bisa berpikir strategik, sense of crisis yang rendah, hingga ada yang memimpin dengan arogan. Sering keluh kesah, menebar ancaman, atau marah-marah.
Dalam sebuah kasus, suatu saat ada GM HRD yang baru bergabung di sebuah perusahaan go public. Ia datang dan membawa banyak gebrakan program baru sesaat ia menjabat. Namun sayang, pada saat memasuki tahun ke-3, ia mendapat "perlawanan" serius dari orang-orang operasional di lapangan. Kesalahannya saya lihat sederhana, ia memberlakukan orang-orang di industri jasa dengan caranya yang biasa ia menangani karyawan pada industri padat karya !
Ciri kedua, ketidakjujuran. Masalah integritas, juga amanah, adalah masalah hitam dan putih, dan tidak ada abu-abu. Namun di dunia politik, ada gradasi warnanya. Ada yang abu-abu muda, ada juga yang abu-abu tua. Benar saja pepatah yang mengatakan "sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga", persis seperti "sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu ia jatuh juga.". Publik pada akhirnya tahu, dan deretan kebohongan demi kebohongan ditampakkan oleh Tuhan.
Celakanya, kebohongan itu akan ditutupi dengan kebohongan lain yang tak jarang tak masuk akal, dan terkesan kekanak-kanakan. Dalih, rasionalisasi, pembenaran, framing, "cocokologi" dan sejenisnya, nampak ditebarkan dan bahkan diproduksi dengan sistemik. Uniknya, tak jarang para pembohong ini akan dikelilingi oleh para penjilat yang mencari kesempatan dan jalan pintas untuk memenuhi ambisi pribadinya. Dalihnya, untuk kepentingan umum, "demi bangsa dan negara".
Ciri ketiga, mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kemaslahatan. Kepentingan diri dan kelompok yang mendukungnya akan mengalahkan kebenaran, aturan, kode etik, undang-undang, dan kewajiban utamanya. Bila ini sudah terjadi, tak jarang kita melihat adanya pencitraan yang senyatanya ia telah meninggalkan kewajiban-kewajiban tugas utama yang sesungguhnya.
Ciri keempat, budaya baik luntur dan hancur. Pimpinan yang buruk itu bisa merusak sistem. Bila sistem sudah rusak, maka budaya kerja dan perilaku juga bisa rusak.
Ciri kelima, sikap tanpa perasaan dan nyinyiran berhamburan. Jangan harap seorang leader dapat respek tugas yang kuat, bila pola pikirkanya dangkal. Wawasannya sempit, dan tidak ada sikap tegas dalam menegakkan keadilan. Di ruang publik misalnya, bila ada kebijakan publik yang tidak pro rakyat, maka yang ramai itu bukanlah berita dari kebijakannya itu sendiri. Namun nyinyiran netizen yang tak jarang jadi "hiburan panjang tersendiri" bagi yang membacanya.
Nyinyiran ini biasanya terlahir dari sosok pemimpin yang selalu bermental spion, atau membanggakan masa lalu. Bisa juga tercipta karena ia keras kepala, megalomania, tidak simpatik, atau egosentrik. Dalam kasus tertentu, sikap tanpa perasaan ini bisa melahirkan banyak hoaks, "surat kaleng", keluhan di "grup medsos tertutup", hingga gelombang unjuk rasa terbuka.
Ciri keenam, sikap tak peduli terus meluas dan meninggi. Ini sudah bahaya. Orang-orang sudah tak peduli lagi, skeptis, apriori, "terserah lu aje adeh", dan sikap-sikap sejenis itu. Tak ada engagement dalam setiap program. Orang hanya menghormati hanya karena dia punya kedudukan formal saja. Mentok, orang terpaksa menghormati karena ia punya position. Namun tak ada permission atau relationship, tak ada production atau pun result, tak ada yang cemerlang, hanya biasa-biasa saja. Jauh sekali untuk menerapkan people development yang berorientasi pada reproduction. Jangan tanya respek, karena orang-orang sudah tahu siapa pemimpinnya, dan bagaimana buruknya reputasinya. Bisa jadi, ia hanya sebuah boneka saja. Pemimpin boneka.
Pemimpin-pemimpin boneka juga ada pada beragam perusahaan besar dan perusahaan go public. Ada yang diangkat karena hutang budi, ada juga yang diangkat karena kedekatan. Yang lebih parah, ada pemimpin yang diangkat karena ia orang asing atau bule yang bisa dijual nanti di company profile perusahaan, bahwa perusahaan ini sudah mengimpor merekrut orang-orang dari luar negeri.
Ciri ketujuh, etos kerja biasa-biasa saja. Tanda etos kerja yang biasa-biasa saja dan budaya kerja "rata-rata yang datar" adalah banyaknya orang-orang berkompetensi tinggi dan professional, minta pindah, resign, atau minta pensiun muda. Etos kerja dan produktivitas yang biasa-biasa saja, bisa jadi terlahir karena ide-ide baru ditolak pemimpinnya. Bisa karena ia gengsi menerima ide itu, bisa juga dia tak melihat "cuan" yang bisa menguntungkannya.
Ciri kedelapan, empati tak terasa lagi. Pendapat dari orang-orang sekitar diabaikan. Tanda-tanda ini antara lain bercirikan bahwa ada atau tidak ada pimpinan, itu sama saja. Organisasi berjalan autopilot. Gaya manajemen otokratik sudah tak berjalan dengan efektif. "Yang penting jalan, target tercapai, dah cari aman saja ! Kalau pun tak tercapai, tinggal cari saja alasan-alasannya", begitu anak anak buahnya bersuara.
Ciri kesembilan, rekayasa jadi senjata. Drama-drama picisan ditampilan. Pencitraan ditebarkan. Namun, esensi kepemimpinan semakin jauh dirasakan.
Bila tanda-tanda kegagalan kepemimpinan ini terjadi di tempat kerja kita, siap-siap saja "loncat pagar". Pensiun dini, minta pindah ke bagian lain, resign, atau cari tempat kerja baru lagi yang lebih menghargai pengalaman dan kompetensi kita. Namun bila ini terjadi di kepemimpinan publik, ambillah sikap yang terbaik, lalu berdoalah :
"Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik, serta bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, dan jadikanlah pemimpin kami sebagai orang yang baik, di mana pun mereka berada."
Aamiin ya Allah ya robbal alamin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H