Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Unproffesional Conduct Itu Antara Apel Busuk dan Enemy Of The State

25 Oktober 2022   10:59 Diperbarui: 25 Oktober 2022   11:09 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : motionstatereview.com

Hari ini adalah hari yang ruar biasa menggemaskan. Pasalnya, target 5 hal penting yang ingin saya lakukan hari ini hanya tercapai 2. Sisanya 3, tertunda gara-gara masalah curhat. Ya, gara-gara curhat !

Bagi saya, curhat itu wajar, manusiawi, dan bisa bikin senang atau kesal. Senangnya kalau modusnya baru, unik, komplek, rumit, dan ruwet. Jadi kita tertantang untuk bersama-sama dan bekerja sama untuk menyelesaikannya. Caranya, libatkan saja orang-orang spesialis yang tepat, relevan & berkompeten. Hal yang pasti, akan ada banyak pelajaran dan pembelajaran dari apa yang dicurhatkan.

Ya, dari curhatan kita bisa belajar dari masalah orang tanpa perlu kita sendiri yang mengalaminya. Pokoknya benangnya perlu diurai satu persatu, biar terlihat dimana benang merahnya, juga benang kuning, hijau, coklat, merah, putih dan hitamnya. Kesalnya, kalau udah di kasih warning, eh ini terulang ! Curhat yang berulang, memang menggemaskan kalau tak mau dibilang menyebalkan.

Yap, begini cerita lengkapnya. Dalam lima hari terakhir, dua client yang memimpin sebuah organisasi lagi limbung. Masalahnya ada "4 musuh negara" yang harus diselesaikan di dua organisasi itu, tanpa si puncak pimpinan itu sendiri menyadarinya selama ini! Tahu-tahu indikator red alert meraung-raung berputar menyala. Ini bahaya.

Semula saya cuekin, toh saya udah ngasih bagaimana mengimplementasikan sistem peringatan dininya. Dalam perspektif risk management, khususnya pada tugas yang diemban Crisis Management Response Team, pengamanan itu harus berlapis. Lalu dibuatkan sistem peringatan dininya dari setiap jenis indikator yang bisa menyebabkan masalah, risiko, kerugian, dan krisis. Selain itu, perlu juga dibuatkan indikator peringatan dirinya, dan harus dipasang sedemikian rupa sehingga kita bisa memantaunya dari waktu ke waktu.

Tapi ini masalahnya ada di human : There are indications of an early warning system that is not being implemented. Hadeuh !

4 Level Peringan Dini Harus Konsisten Diterapkan & Diawasi

Saat itu sudah saya sampaikan bahwa guna keseragaman pola tindak dan antisipasi, maka setiap indikator disederhanaan saja level peringatan dininya. Caranya, dari setiap indikator dibuatkan rentang nilainya dan dibuatkan katergorinya dalam Level Peringatan Dini :

* Hijau itu Normal, kandungan informasinya : Confidential, dan urgensi-nya : Antention.

* Biru itu Siaga Tiga, Secret, urgensinya : Guarded.

* Orange itu Siaga Dua, Top Secret, urgensinya : High

* Merah itu untuk Siaga Satu, bahaya, level informasinya Dark Star, dan urgensinya : Severe.

Dengan 4 kategori level peringatan dini ini, kita bisa mengantipasi cukup akurat. Seandainya, kita punya 11 indikator keberhasilan, dan masing-masing indikator itu ditampilkan dalam bentuk 4 warna, maka kita bisa melihat separah apa kondisi organisasi ini kita pimpin.

Dari 4 level kesiapsiagaan ini, tentu saja kita berharap efek peringatan dini ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kesadaran, pemahaman dan perhatian yang lebih besar terhadap risiko dan kerugian. Tentu, dengan pola kerja yang sistemik dan koordinatif.

Itu prinsipnya. Namun, saat sistem peringatan dini tidak dijalankan, siap-siap saja kecolongan  ! Dan benar saja, bukannya masalahnya itu yang segera diatasi, malah ini jadi bingung sendiri, hanya kerena tidak diberlakukannya sistem peringatan dini yang memadai. Kalau udah begini, gara-gara tidak pernah melatih kesiap-siagaan, pas ada "bencana" rasanya semua jadi kelabakan.

Ya, semua itu antara lain karena saluran komunikasi tidak dibuka lebar-lebar. Akhirnya jadi bola liar. Curhatan demi curhatan mengalir ke WA saya, bukan ke pimpinannya. Plus penilaian dan laporan rutin yang tidak dijalankan dengan konsisten. Saya sangat meyakini : Semuanya baik-baik saja, adalah ketidakbaikan. Eveything is okay, itu sebenarnya tidak benar-benar Ok !

Intinya, saat pimpinan tidak jadi panutan, dan pimpinan yang menjadi simbol organisasi tak jalan, siap-siaplah gosip ini-itu berkeluyuran. Gerak-gerik yang tak sedap, akan meruntuhkan reputasi dan kredibilitas pimpinan itu. Sebaliknya, saat pimpinan mampu jadi panutan - yang layak diteladani, maka perhatian dan kerja pimpinan jadi ringan. Fokus pada "sukses itu ada pada eksekusi dan detail" jadi gampang !

Lalu, terpaksa saya tutup semua yang curhat itu. Masa semua curhat ke saya, dan ini tak baik. Lalu fungsi pimpinan dimana ? Akhirnya, saya terpaksa mengalah : "Ok, besok kita meeting lengkap, ya. Pukul 08.03 !

Nyaris sering saya dapatkan, orang-orang yang punya sikap tak baik dan terbukti "unproffesional conduct", nyaris seperti enemy of the state. Orang-orang Human Capital Dept sering bilang sebagai "Apel busuk". Yaitu apel yang bisa membawa apel-apel lain dalam satu keranjang ikut terbawa busuk. Jadi kalau ada orang yang berperilaku tidak professonal, alias unproffesional conduct, maka itu seperti berada diantara apel busuk dan enemy of the state. Hati-hati, sikap negatif itu mudah menular.

Tak dapat menyembunyikan kekesalan, saat itu juga saya sampaikan :

"Ini memalukan. Saya tak happy. Pagi-pagi saya akan datang. Saya harus tahu apa yang akan dieksekusi. Saya tak mau ada apel busuk di keranjang buah kita. Kepercayaan itu melahirkan kepercayaan. Komitmen itu harga mati. Jangan merasionalisasi dan berdalih. Saya tak suka orang yang banyak kata dan multi-face. Kemarin begitu, sekarang begini. Tak konsisten dalam memegang prinsip. Ini malah membungkus kata-kata indah kemana-mana dan mengaburkan jejak  "unprofessional conduct"-nya, namun tak jelas motif dan kontribusinya !"

Saya tegaskan lagi soal sikap baik dan produktifitas, itu segalanya. Bila sikapnya baik dan produktfivitasnya baik, maka pertahankan, kasih job enrichment, dan promosikan. Bila produktivitasnya kurang baik, namun sikapnya baik, maka kasih training dan kasih coaching. Orang seperti ini bisa di-upgrade dan mudah diubah.

Namun bagi orang yang punya sikap buruk, produktivitasnya baik, cukup kasih teguran hingga mutasikan saja. Siapa tahu di lingkungan baru dia lebih cocok. Tiga bulan kedepan, awasi dengan ketat. Namun bila produktivitasnya buruk atau pas-pasan, dan sikapnya juga masih buruk, maka prioritaskan menjadi orang yang akan terkena restrukturisasi, untuk "dikembalikan ke orang tuanya". Pecat, dan PHK. Bareng satu paket pecat ama HRD Manager-nya".

Saat lagi gemes gini, untung si bungsu datang menghampiri saya. Ia menepuk pundak dan merangkul pundak saya, "Udah yah, tunda dulu. Anter ya, kita beli martabak Sinar, ya Yah !"

Ups, rupanya Si Bungsu denger juga ayahnya sedang di puncak kegemesan. Saya tarik nafas panjang. Saya tinggalin HP di meja. Saatnya menikmati jalan-jalan sore ama Si Bungsu. Untuk menikmati sore ini yang cerah sambil membayangkan sepulang dari sana akan saya nikmati Martabak Sinar rasa coklat-kacang, dan segelas kopi. Aih, nikmatnya hidup ini. Apalagi tanpa apel busuk dan Enemy of The State di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun