“Hmm, ternyata tetap keras kepala juga soal karir dalam pekerjaan”. Tukas Mayang sembari menatapku dan menurunkan kerudungnya melingkar di leher hingga melingkar sepertiscarf,tampak begitu anggun.
“Hehe,Bukan keras kepala tapi ideologis, May”. Aku dekatkan wajahku ke tempat Mayang duduk yang dipisah satu kursi plastik halte sambil menata senyum karena aku bukan orang keras kepala seperti yang dulu Dia katakan ketika terjadi miskomunikasi sewaktu kita masih bersama.
“Beda, May”. Sedikit ku tekankan suaraku.
“Iyah,beda……percaya aku, Dan” Ledeknya padaku
“Kamukanjuga penggemar tulisan-tulisan fiksi dan puisi-puisi tulisantho, May?”. Candaku menyelidik.
“Halah, itu kan dulutho yo,Dannn…Dan”. Bela Mayang seperti tak ingin mengungkapkan itu.
Aku tahu yang dikatakan May baru saja bohong, itu terlihat dari air mukanya saat beralasan,tapi aku tak berani untuk mengaku yang bisa mengingatkan masa lalu anatara Aku dan Mayang dan aku tak mau itu terjadi, Lagian dia juga sudah berkeluarga.
“Eh, tapi aku masih ingat satu tulisanmu yang paling aku sukaloh”
“Oh, ya ?” Aku begitu penasaran.
“Jika asmara tak pernah mengajakmu ke dunia nyata, ingatlah kedua kakimu menjejak bumi….”.
“….. Tapi aku memiliki dua tangan yang akan bercerita padamu tentang kebahagiaan ditiap harinya serta lengan itu adalah tempatmu merebah dibawah malam”. Selaku menyambung kutipan kata-kata yang sering aku ucapkan pada Mayang saat kita bersama. Entah apa yang mengembirakan dari Aku dan Mayang hingga tersenyum sendiri setelah mengucap kata itu, Aku tak menyangka kata-kata itu masih dia ingat dengan baik. Sungguh, aku begitu tak menyangka.