“Loh, udah lupatho?”. Sahutnya lagi sebelum aku mengenali wajahnya yang sepertinya tak asing.
“Mayang ??”. Teriakku secara spontan begitu pikirku mengingat nama pemilik sosok berdirididepanku.
“Apa kabar ?”. Timpalnya sembari menyodorkan tangan bermaksud bersalaman.
“Baik…baik,ini anak kamu ?” Tanyaku gugup membuka pembicaraan, sedang tangan kiriku mengusap rambut anak laki-laki kecil didepanku, yang sedang berdiri didepan mamanya.
“Iyah,….namanya Danang”. Tukas Mayang sambil melepas pandang kesuasana jalanan sore itu.
Lidahku kelutersekat mendengar nama anak itu mirip denganku, tiba-tiba pikirku menyusuri ruang waktu yang pernah terjadi dimasa silam, menemui lembar-lembar kisah dimana aku bersamanya hidup dengan kebahagiaan, banyak orang bilang masa-masa itu adalah masa cinta monyet, tapi aku tak yakin apa yang aku simpan jauh dalam hatiku pada Mayang hingga saat ini adalah kategori itu.
“Udah berapa tahun berkeluarga,May ?” Tanyaku sembari menyusun senyum dibibirku berusaha menutupi suasana yang sedang terjadi dibalik pikirku.
“Tiga setengah tahunan”. Jawab Mayang sembari menata duduk dengan meletakan dagu di telapak tangannya dengan siku bertumpu diantara pahanya yang dilipat, aku perhatikan arah matanya yang mengawasi Danang kecil menoleh kanan kiri sibuk memperhatikan lalu lalang kendaraan sore diatas aspal basah karena gerimis.
“Kok nggak ngirim undangan kalau mau menikah ?”. Selorohku memecah sejenak kebisuan yang baru saja menyergap Aku dan Mayang.
“Bagaimana cara ngirim undangan,aku kanndaktahu kamu pindah kemana ?”. Mayang menghela nafas panjang-panjang dan mungkin benaknya masih terpaku pada masa lalu itu ketika berjumpa denganku di halte.
Lalu, dengan suara sedikit tersekat Mayang mengungkapkan kata yang bisa ditafsiri sebagai penghakiman atas apa yang aku lakukan saat itu.