Misalnya, dari Citayam ke Alun-alun Depok atau ke Cibinong. Anda akan paham bagaimana rasanya jadi warga yang akses transportasinya terbatas untuk mencapai ruang publik.Â
Pahami sisi psikologis mereka. Pahami repotnya mereka saat harus menuju ruang publik dengan fasilitas angkutan umum yang kurang memadai. Citayam, Cilebut, dan Bojonggede misalnya, akses jalan di daerah tersebut relatif kecil, macet, dan di beberapa titik harus berputar jauh untuk menjangkaunya.Â
Baru kemarin, saya main ke rumah teman di Cilebut. Jaraknya dari Ibukota Kabupaten Bogor di Cibinong hanya 4-5 kilometer bila ditarik garis lurus. Tapi untuk menuju ke perumahan tersebut dari Cibinong harus berputar dan melewati jembatan gantung yang hanya muat untuk satu motor. Jarak yang ditempuh jadi lebih dari 8 kilometer. Terbayang kan bagaimana akses jalan di daerah tersebut.
Hal yang sama pernah saya rasakan saat pergi menuju Citayam dari Cibinong. Jalannya sempit dan berkelok-kelok. Saya sampai harus beberapa kali melihat peta digital untuk mencapai tujuan. Saya membayangkan seperti berkendara di tengah labirin. Jauh berbeda dengan jalan Jakarta yang luas, lurus, mulus, nyaman dan dipinggirnya ada area pedestrian yang megah dan Instagramable.
Dari penjelasan ini, sudah jelas kan mengapa anak-anak CBD rela jauh-jauh ke Jakarta untuk menggelar "fashion show" alih-alih melakukannya di Depok atau Bogor kan? Ya, mereka hanya mencari ruang publik yang nyama dan mudah diakses. Sesederhana itu. Tidak lebih.Â
Dari fakta di atas, kita tahu, bahwa pembangunan Indonesia memang masih Jakarta Sentris. Tak perlu jauh-jauh melihat ke daerah di luar Jawa. Kota-kota penyangga tempat pekerja di Jakarta bermukim pun, tak memiliki ruang publik dan akses transportasi yang memadai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H