Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Salahkan Anak-anak Citayam, Mereka Hanya Mencari Ruang Publik yang Nyaman

16 Juli 2022   11:16 Diperbarui: 16 Juli 2022   17:40 1586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roy di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2022).(Kompas.com/Cynthia Lova)

Akhir-akhir ini, populer istilah Citayam Fashion Week. Istilah ini untuk menunjuk gaya busana anak-anak pinggiran Jakarta yang datang ke Ibukota dengan pakaian yang unik dan terkadang nyeleneh.

Para remaja yang datang ke seputar Stasiun Sudirman dan Dukuh Atas, Jakarta ini kebanyakan berasal dari Citayam, Bojonggede, dan Depok (CBD). Sebagian lagi dari Bekasi dan sekitarnya. Aksi nongkrong mereka setiap akhir pekan menarik perhatian banyak orang dan viral.

Ada dua hal yang membuat mereka viral. Pertama, outfit mereka yang unik dan tampil se-wah mungkin.

Kedua, karena tumpukan sampah yang mereka tinggalkan saat meninggalkan lokasi nongkrong. Untuk alasan kedua, memang harus ditertibkan. Nongkrong boleh, nyampah jangan.

Mengapa anak Citayam main sampai Jakarta? 

Sebagian orang memandang sinis dengan aksi anak-anak baru gede ini. Alasan penguatnya tentu karena sampah yang ditinggalkan.

Namun, hal ini sepertinya akan segera teratasi, karena Satpol PP akan berjaga dan menegur mereka yang meninggalkan sampah sembarangan.

Perkara gaya pakaian yang unik dan bagi sebagian orang dianggap norak, tentu kita tidak bisa menghakimi atau menyalahkan. Toh, mode berpakaian itu masalah selera dan juga modal. Menurut saya, tak ada kebenaran mutlak dalam berpakaian. Semua kembali ke selera dan modal.

Daripada ngomongin gaya berpakaian, ada hal mendasar yang lebih penting untuk ditelisik. Mengapa anak-anak CBD dan sekitarnya sampai rela jauh-jauh datang ke Jakarta. Mengapa mereka tidak main di sekitar tempat tinggal mereka dan menggelar fashion week di Citayam, Bojonggede, Cilebut, dan sekitarnya.

Jawabannya sebenarnya simpel. Mereka hanya mencari ruang publik yang nyaman dan mudah diakses. Di mana tempatnya? Jawabannya tentu saja mudah ditebak. Jakarta memang mutlak jadi tujuan utama. Tak ada yang bisa menyainginya.

Bila Anda pernah datang ke daerah Citayam, Bojonggede, Cilebut dan sekitarnya, pasti sangat memahami mengapa mereka memilih datang ke Jakarta, bukan ke pusat kota di dekatnya misalnya Cibinong atau Depok.

Citayam misalnya, adalah daerah yang berada di perbatasan Depok dan Ibukota Kabupaten Bogor, Cibinong. Memang di Depok dan Cibinong ada ruang publik berupa taman, alun-alun, dan stadion. Tapi apakah kenyamanan dan kemewahannya bisa menandingi area Dukuh atas, Sudirman, dan Thamrin. Tentu saja tidak. Bahkan bisa dibilang tingkat kenyamanan dan kemewahannya ada di level yang berbeda.

Lalu soal akses. Dari Citayam ke Alun-alun Depok jaraknya paling hanya sekitar 4-5 kilometer. Sayangnya, satu-satunya akses yang cukup nyaman adalah sepeda motor atau ojek online. Tak ada transportasi umum yang memadai.

Memang ada angkot. Tapi harus nyambung angkot beberapa kali. Ke Cibinong pun harus seperti itu. Satu-satunya transportasi publik adalah angkot dan harus nyambung beberapa kali. Tidak ada yang langsung. Repotnya lagi, angkot-angkot itu sering ngetem dan waktu ngetemnya sungguh menguji kesabaran.

Bandingkan dengan Jakarta. Mereka hanya perlu datang ke stasiun terdekat. Setelah itu beli tiket dengan harga sangat murah. Transportasi publik yang mereka dapat fasilitasnya nomor satu. Gerbong luas berpendingin udara dan tentu saja tanpa ngetem lama. Setelah itu tinggal turun di Stasiun Manggarai, lalu sambung sekali lagi ke arah Stasiun Sudirman. Jauh lebih simpel dan nyaman.

Dari penjelasan di atas, sudah jelaskan ternyata menjangkau ruang publik di Jakarta, lebih nyaman dan mudah dibanding menjangkau ruang publik di dekat mereka seperti Depok dan Cibinong, Bogor. Itu dari masalah akses.

Dari segi kenyamanan, jelas ruang publik di Jakarta lebih nyaman dan yang pasti Instagramable. Berfoto atau membuat video untuk media sosial, tentu akan lebih outstanding bila latar belakangnya gedung-gedung pencakar langit, Patung Selamat Datang, trotoar yang luas, atau bahkan jembatan penyeberangan yang mewah dan Instagramable. Apakah fasilitas seperti ini ada di ruang publik di dekat rumah mereka?

Jawabnya tentu saja tidak.

Kawanan Remaja Ini Ingin Jadi Percontohan Model Outfit bagi Remaja yang Nongkrong di Terowongan Kendal, Jakarta, Sabtu (2/7/2022).(KOMPAS.com/ANNISA RAMADANI SIREGAR)
Kawanan Remaja Ini Ingin Jadi Percontohan Model Outfit bagi Remaja yang Nongkrong di Terowongan Kendal, Jakarta, Sabtu (2/7/2022).(KOMPAS.com/ANNISA RAMADANI SIREGAR)

Coba pahami sisi psikologis anak CBD

Bila Anda punya pendapat miring tentang anak-anak CBD yang terlihat norak dan berlebihan, cobalah untuk datang ke daerah mereka. Cobalah untuk sehari saja menikmati lingkungan Citayam, Bojonggede, dan Cilebut. Coba naik angkot dari satu titik ke titik berikutnya.

Misalnya, dari Citayam ke Alun-alun Depok atau ke Cibinong. Anda akan paham bagaimana rasanya jadi warga yang akses transportasinya terbatas untuk mencapai ruang publik. 

Pahami sisi psikologis mereka. Pahami repotnya mereka saat harus menuju ruang publik dengan fasilitas angkutan umum yang kurang memadai. Citayam, Cilebut, dan Bojonggede misalnya, akses jalan di daerah tersebut relatif kecil, macet, dan di beberapa titik harus berputar jauh untuk menjangkaunya. 

Baru kemarin, saya main ke rumah teman di Cilebut. Jaraknya dari Ibukota Kabupaten Bogor di Cibinong hanya 4-5 kilometer bila ditarik garis lurus. Tapi untuk menuju ke perumahan tersebut dari Cibinong harus berputar dan melewati jembatan gantung yang hanya muat untuk satu motor. Jarak yang ditempuh jadi lebih dari 8 kilometer. Terbayang kan bagaimana akses jalan di daerah tersebut.

Hal yang sama pernah saya rasakan saat pergi menuju Citayam dari Cibinong. Jalannya sempit dan berkelok-kelok. Saya sampai harus beberapa kali melihat peta digital untuk mencapai tujuan. Saya membayangkan seperti berkendara di tengah labirin. Jauh berbeda dengan jalan Jakarta yang luas, lurus, mulus, nyaman dan dipinggirnya ada area pedestrian yang megah dan Instagramable.

Dari penjelasan ini, sudah jelas kan mengapa anak-anak CBD rela jauh-jauh ke Jakarta untuk menggelar "fashion show" alih-alih melakukannya di Depok atau Bogor kan? Ya, mereka hanya mencari ruang publik yang nyama dan mudah diakses. Sesederhana itu. Tidak lebih. 

Dari fakta di atas, kita tahu, bahwa pembangunan Indonesia memang masih Jakarta Sentris. Tak perlu jauh-jauh melihat ke daerah di luar Jawa. Kota-kota penyangga tempat pekerja di Jakarta bermukim pun, tak memiliki ruang publik dan akses transportasi yang memadai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun