Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamijo dan Tetangga Tionghoa

2 Januari 2018   12:28 Diperbarui: 2 Januari 2018   12:34 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamijo tiduran di sofa ruang keluarga setelah salat ashar. Dia membuka hape miliknya dan melihat beberapa temannya mengganti foto profilnya yang bersandingan dengan "Aku Indonesia, Aku Pancasila". Dia tertarik dan menganggap foto profil tersebut keren. Wangun kata orang kampungnya.

Saat asyik mencari foto diri yang akan digabungkan dengan tulisan "Aku Indonesia, Aku Pancasila", istrinya keluar dari dapur membawa semangkuk kolak.

"Mau ke mana bu?"

"Ini mau mengantar kolak ke Oma," kata istrinya. Oma adalah panggilannya untuk tetangga sebelah rumah yang keturunan Tionghoa.

Istrinya berlalu dan Kamijo melanjutkan mencari-cari foto yang akan disandingkan dengan tulisan keren yang akan membuat dirinya makin keren dan orang akan tahu betapa cintanya dia kepada negeri bernama Indoesia dan falsafah negara: Pancasila.

Tak berselang lama, istrinya sudah kembali. Tangannya tetap membawa mangkuk, tapi berbeda dengan mangkuk yang dibawa tadi. Mangkuk dari rumah berwarna putih, tapi sekrang berwarna bening. Anehnya, isinya tetap sama, yaitu kolak.

"Kok kolaknya dibawa pulang?" tanya Kamijo penasaran.

"Lha gimana gak dibawa pulang, Oma juga masak kolak dan kita dikasih. Gak mungkin ditolak kan?" kata istrinya sambil tertawa. Ah, tambah manis istrinya yang memakai daster seharga 25 ribu yang dibelikan Kamijo di Malioboro dulu.

Oma. Mengingat nama itu, Kamijo teringat pada kebaikan-kebaikan yang sering dia dapatkan dari perempuan tersebut. Dia ingat, waktu membangun dapur di rumah tipe 21 miliknya dan kekurangan batu untuk pondasi, Oma menawarkan batu miliknya, sisa pembangunan rumahnya.

"Udah pakai saja batu ini, saya udah gak kepakai juga," kata Oma.

Kamijo sempat ingin menggantinya dengan beberapa lembar uang di dompetnya, tapi Oma menolaknya.

"Kayak sama siapa saja, tetangga itu kan sodara paling dekat," kata Oma.

Dia seperti pernah mendengar kata-kata itu. Tapi lupa di mana. Setelah mengingat-ingat, Kamijo tahu bahwa kata itu diucapkan oleh penceramah dalam kultum di masjid dekat rumahnya. Tapi ia lupa apakah itu kutipan dari Alquran, hadits, atau hanya kata mutiara dari ustadz. Tak terlalu penting baginya, tapi menurutnya hal tersebut benar dan kamijo setuju.

Di lain hari, dia juga ingat Putra, anaknya yang kecil pulang dengan mulut belepotan sambil senyum-senyum. Ketika ditanya darimana dan kenapa mulutnya belepotan? Putra menjawab:

"Dari Oma. Tadi dikasih kue setoples," katanya polos. Hadeh, dalam hati Kamijo agak malu, karena anaknya sudah menghabiskan setoples kue punya Oma. Tapi ya namanya anak balita. Belum punya ewuh pekewuh alias rasa malu soal begituan.

Kamijo melanjutkan kegiatan mencari foto yang paling keren, cute, dan menggemaskan untuk disandingkan dengan tulisan heroik dan nasionalis tersebut.

Belum selesai dia memilih foto, istrinya keluar dari kamar dan duduk di sofa, tepat disebelah pinggangnya. Ah, terasa mesra.

"Lagi ngapain sih Pak?" tanya istrinya.

"Ini lagi nyari foto untuk ganti foto profil di medsos. Keren. Aku Indonesia, Aku Pancasila. Keren kan?" kata Kamijo sambil menunjukkan foto profil temannya yang sudah menggunakan tagline tersebut.

"Kok foto cewek yang dilihatin?" tanya istrinya, sedikit sewot dan menyelidik.

"Halah, ini cuman contoh lo Bu. Ya cintaku tetap padamu to. Kamu itu kok sayang banget sama aku, liat foto profil orang aja sampe cemburu," kata Kamijo.

"Halah, gombal amoh Pak. Ndak usah ngerayu. Mau ngingetin saja, nanti habis isya ada undangan rapat RT. Terus besok malam, ada undangan Yasinan di Pak Nas," kata istrinya.

"Oh iya ya," hampir lupa.

"Jangan asyik bersosialisasi di medsos, tapi lupa sama tetangga. Lupa ngobrol dan nongkrong sama tetangga. Lha kita itu masak baunya tercium sama tetangga aja kan harus bagi-bagi," kata istrinya sambil ngeloyor pergi.

Kamijo tertegun dengan ucapan istrinya. Itu istrinya habis makan apa kok bisa ngomong gitu. Tapi ada benarnya juga, kadang dia asyik di medsos, tapi waktu buat berkumpul dengan tetangga malah terbatas.

Kamijo bangkit dari tidurnya. Lalu menuju dapur dan memotret kolak yang diberikan oleh Oma. Setelah itu dia mengganti foto profilnya dengan foto mangkuk kolak tersebut. Di bawahnya ditulisi, "Pancasila dalam semangkuk kolak".

Untuk menjadi seorang Pancasilais, dia tak harus memasang foto profil bertuliskan Indonesia dan Pancasila. Tak harus pula memasang gambar Garuda Pancasila yang gagah perkasa. Kamijo ingin menjadi mengamalkan Pancasila dengan cara-cara sederhana seperti ikut gotong royong mengecor jalan, datang saat diundang acara tetangga, atau menjadi panitia Tujuhbelasan di tempat tinggalnya.

Catatan:

Cerpen ini terinspirasi kisah nyata saat istri saya pulang membawa semangkuk kolak setelah mengantar kolak ke rumah tetangga. Indahnya peduli dan berbagi dengan tetangga. Cerpen awalnya saya tulis untuk memperingati Hari Pancasila, tapi waktu itu belum selesai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun