Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hitam Putih Sejarah PKI

1 Oktober 2015   18:25 Diperbarui: 1 Oktober 2015   18:25 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: http://103.7.52.118/pusluh/public/upload/images/MEMPENGATI_KESAKTIAN_PANCASILA.jpg"][/caption]

Setiap pergantian bulan dari September ke Oktober, selalu ada keriuhan perihal Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu pihak menyatakan bahwa PKI adalah korban dari rezim orde baru, PKI hanya tumbal semata. Di sisi lain menyatakan PKI memang layak diganyang dan dihilangkan dari bumi Indonesia. Apa pun yang berbau PKI—termasuk anak turunnya—tidak layak hidup di negeri ini. Itu pendapat pihak satunya.

Di mana sebenarnya posisi PKI? Benarkah mereka hanya korban atau memang sebenarnya mereka memang aktor gerakan makar 30 September? Tidak mudah menjawab hal ini memang dan kita tidak bisa melihat kasus tersebut secara hitam putih. Cerita mengenai komunisme di Indonesia tidak bisa dilihat dari kacamata opini. Harus diurai mengenai fakta sejarah dari waktu ke waktu. Tidak bisa hanya sebelum 30 September atau hanya sesudah 30 September 1965.

Sebagai orang yang pernah sekolah di jurusan Ilmu Sejarah, saya mau bercerita berdasar fakta yang saya dapat lewat tuturan sejarah lisan pelaku sejarah.

Medio 2002, saya mengikuti kuliah kerja nyata di Gunung Kidul sebagai syarat kelulusan kuliah. Salah satu basecamp nongkrong saya adalah Masjid Pancasila di daerah utara Gunung Kidul. Dalam sebuah kesempatan, saya ngobrol panjang dengan seorang pengurus masjid yang ternyata berasal dari Kediri, Jawa Timur. Sebut saja Bapak A. Dia, lantas bercerita mengenai masa mudanya yang ikut aktif memerangi PKI. Salah satu komen yang saya ingat seperti berikut:

“Saya itu dulu ikut nyari PKI mas. Jadi orang-orang yang dicurigai sebagai PKI didaftar, kemudian kita buru. Waktu itu yang berhasil kita tangkap kita kumpulkan di alun-alun. Setelah itu mereka diikat dengan tali sabut kelapa (biasa digunakan untuk bahan keset). Setelah itu sabutnya kita siram pakai minyak tanah, terus kita bakar,” kata Bapak A dengan tenang. Dingin.

Mendengar cerita tersebut, terus terang saya ngeri. Pembantaian terhadap orang (yang dicurigai) PKI memang fakta yang sulit dibantah di negeri ini. Seorang teman yang pernah melakukan penelitian di Ponorogo—seingat saya—juga menceritakan bengisnya eksekusi terhadap orang (yang dicurigai) PKI. Para tersangka di suruh berdiri di atas jembatan, lalu disuruh lompat satu-satu. Di bawah jembatan, sudah ada algojo bersenjatakan pedang yang siap menerima tersangka yang terjun ke bawah dengan kibasan pedangnya. Mengerikan.

Dalam kasus dua cerita di atas, orang-orang (yang dicurigai sebagai) PKI memang lebih sebagai korban. Mengapa? Sebab banyak di antaranya—atau jangan-jangan malah semua—yang dieksekusi tanpa diadili. Aparat tentu bertindak permisif dan justru mendukung keberingasan masa ini. Pokoknya yang terindikasi PKI harus mati, dengan cara keji.

Sudah jelas kan dalam kasus pasca 30 September PKI memang korban? Ya itu tak bisa dipungkiri. Tapi kita tidak bisa melihat fakta pasca 30 September saja. Kita harus melihat masa-masa sebelumnya.

Fakta selanjutnya saya dapat dari tetangga saya, dia teman bapak saya. Kira-kira ringkasan ceritanya seperti ini:

“Nak, dulu ke mana-mana bapakmu pergi hampir selalu saya temani. Bapakmu dulu tuh jarang di rumah, pindah-pindah terus. Bapakmu dulu, dan juga saya, adalah target PKI. Kita memang aktif bergerak untuk membendung PKI di desa ini,” begitu kira-kira cerita tetangga saya. Bapak saya sendiri malah tidak cerita. Dia baru cerita ketika saya tanya.

“Ya, dulu memang ada perebutan massa dan kuasa antara PNI dan PKI di Klaten. Mbahmu dulu bahkah pernah disuruh gambar palu arit super besar oleh PKI. Ada orang PKI pesan gedeg ke Mbah Kung, lantas meminta digambari palu arit. Aku larang Bapak. Selain itu aku ajak teman-teman membuat lapangan bulu tangkis. Di situ aku bilangin jangan ikut PKI. Itu jadi penyebab aku dicari PKI.” Kira-kira begitu cerita Bapak.

Dalam kasus ini, pra 30 September, PKI adalah aktor. Jadi kalau menganggap PKI hanya korban belaka hasil rekayasa, tentu itu tidak benar juga. Kebanyakan dari kita melihat sejarah itu hitam putih. Pasca reformasi memang seakan-akan ada anggapan bahwa PKI hanya korban. Tentu tidak seperti itu. Beberapa fakta, memang ada tindakan keji yang dilakukan PKI yang membunuh kyai, birokrat, dan aparat. Itu sepertinya yang jadi alasan Bapak A bercerita dengan tenang, tanpa penyesalan. Saya tidak bertanya, tapi saya menduga ada keluarga atau kerabatnya yang mungkin menjadi korban tindakan PKI.

Sekali lagi, kita tak bisa melihat sejarah PKI secara hitam putih. Ada keinginan berkuasa dari PKI itu pasti. Mereka adalah partai politik yang tujuan utamanya adalah kuasa. Tak beda dengan PDIP, Golkar, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan semacamnya seperti sekarang ini. Untuk mencapai tujuan kekuasaan, tentu berbagai cara dilakukan, seperti partai-partai sekarang ini. Termasuk intimidasi salah satunya.

Jadi, PKI bukan sekadar korban kekerasan dan keculasan rezim Orba, pada masa sebelumnya, mereka juga aktor pelaku kekerasan menurut saya. Tugas para sejarawan untuk menelisik lebih dalam melalui sejarah lisan para saksi dan pelaku sejarah. Masih banyak yang hidup rasanya. Dan sejarawan harus adil, tidak hanya melakukan wawancara pada satu sisi saja. Sejarawan, harus berbuat adil dalam kasus ini, harus adil sejak dalam pikiran. Begitu meminjam istilah Pram, yang mungkin saja dia juga sulit berbuat adil sejak dalam pikiran perkara yang satu ini.

Tabik dan selamat Hari Kesaktian Pancasila. Semoga engkau masih sakti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun