Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hitam Putih Sejarah PKI

1 Oktober 2015   18:25 Diperbarui: 1 Oktober 2015   18:25 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ya, dulu memang ada perebutan massa dan kuasa antara PNI dan PKI di Klaten. Mbahmu dulu bahkah pernah disuruh gambar palu arit super besar oleh PKI. Ada orang PKI pesan gedeg ke Mbah Kung, lantas meminta digambari palu arit. Aku larang Bapak. Selain itu aku ajak teman-teman membuat lapangan bulu tangkis. Di situ aku bilangin jangan ikut PKI. Itu jadi penyebab aku dicari PKI.” Kira-kira begitu cerita Bapak.

Dalam kasus ini, pra 30 September, PKI adalah aktor. Jadi kalau menganggap PKI hanya korban belaka hasil rekayasa, tentu itu tidak benar juga. Kebanyakan dari kita melihat sejarah itu hitam putih. Pasca reformasi memang seakan-akan ada anggapan bahwa PKI hanya korban. Tentu tidak seperti itu. Beberapa fakta, memang ada tindakan keji yang dilakukan PKI yang membunuh kyai, birokrat, dan aparat. Itu sepertinya yang jadi alasan Bapak A bercerita dengan tenang, tanpa penyesalan. Saya tidak bertanya, tapi saya menduga ada keluarga atau kerabatnya yang mungkin menjadi korban tindakan PKI.

Sekali lagi, kita tak bisa melihat sejarah PKI secara hitam putih. Ada keinginan berkuasa dari PKI itu pasti. Mereka adalah partai politik yang tujuan utamanya adalah kuasa. Tak beda dengan PDIP, Golkar, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan semacamnya seperti sekarang ini. Untuk mencapai tujuan kekuasaan, tentu berbagai cara dilakukan, seperti partai-partai sekarang ini. Termasuk intimidasi salah satunya.

Jadi, PKI bukan sekadar korban kekerasan dan keculasan rezim Orba, pada masa sebelumnya, mereka juga aktor pelaku kekerasan menurut saya. Tugas para sejarawan untuk menelisik lebih dalam melalui sejarah lisan para saksi dan pelaku sejarah. Masih banyak yang hidup rasanya. Dan sejarawan harus adil, tidak hanya melakukan wawancara pada satu sisi saja. Sejarawan, harus berbuat adil dalam kasus ini, harus adil sejak dalam pikiran. Begitu meminjam istilah Pram, yang mungkin saja dia juga sulit berbuat adil sejak dalam pikiran perkara yang satu ini.

Tabik dan selamat Hari Kesaktian Pancasila. Semoga engkau masih sakti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun