Sejak kedatangan Kang Wagimin, bapakmu tidak pernah keluar rumah. Setiap hari bapakmu menghatamkan Al quran satu kali. Jangan heran, anakku, bapakmu itu pernah nyantri dan hafal quran. Kamu tahu kepada keluarga sendiri bapakmu sangat keras soal agama. Sudah tak terhitung, kan, kamu dijewer kalau menunda-nunda sholat? Sedangkan niat bapakmu menjadi dalang sebenarnya bukan untuk mencari kekayaan, tetapi sebagai jalan dakwah. Tetapi ternyata tidak mudah berdakwah lewat budaya, terbukti bapakmu tidak bisa mengajak semua wiyogonya mengikuti jalan Tuhan.
Bapakmu juga berpesan jika nanti benar-benar ditangkap agar diterima dengan ikhlas, tidak boleh menaruh dendam kepada para penangkap. Tidak boleh membenci para pemimpin dan tetap mencintai negara ini.
* * *
Karno Pacul masih bersembunyi di balik gerumbul ilalang di belakang kantor desa. Sorot lampu neon yang menerangibelakang kantor desa tak mampu menembus lebatnya gerumbul ilalang. Orang-orang yang lalu lalang mengangkut makanan dan minuman di belakang kantor desa yang difungsikan dapur, juga tidak menyadari kehadirannya.
Malam makin larut. Tidak terdengar lagi gelak tawa orang-orang yang tirakatan di halaman kantor desa. Orang-orang yang bertugas di dapur juga sudah mulai meninggalkan halaman belakang kantor desa. Karno Pacul masih tidak beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia masih menunggu para hansip yang jaga di kantor desa tidur. Ia tahu pasti, sehabis digelar tirakatan 17 Agustus, para hansip akan tidur ngorok, lupa kewajibannya menjaga keamanan kantor desa.
Karno Pacul berjalan mengendap-endap keluar dari persembunyiannya. Setelah memastikan para hansip tidur, ia menuju tiang bendera. Dengan tangan gemetar Karno Pacul melepas ikatan tali di tiang bendera. Sambil menengok kiri kanan, masih dengan tangan gemetar Karno Pacul mulai menurunkan bendera merah putih, yang belum pernah diturunkan sejak setahun lalu.
Setelah melipat bendera itu, Karno Pacul segera lari. Pulang ke rumahnya. Pikirannya gelisah. Hatinya tidak tenang. Baru sekali ini ia mencuri, itu pun karena ia sudah tidak sanggup lagi menahan malu tiap tanggal 17 Agustus selalu dipermalukan di kantor desa, dihadapan seluruh warga desa, karena tidak pernah mengibarkan bendera merah putih. Karno Pacul tidak pernah mengibarkan bendera karena tidak punya cukup uang untuk membeli bendera. Terlebih dulu, saat penghasilannya sebagai pembuat tangkai cangkul laris, ia setiap tahun selalu mengibarkan bendera. Dan setiap tahun pula bendera itu dirampas, dengan alasan anak PKI tidak boleh ikut mengibarkan bendera. Sejak saat itu ia tidak lagi mengibarkan bendera, apalagi penghasilannya sekarang sudah tidak menentu.
Menjelang subuh ia berketetapan mengembalikan bendera curian itu ke kantor desa. Untung para hansip masih tidur ngorok. Bendera itu diletakkannya disamping para hansip yang tidur. Sesampai di rumah, Karno Pacul kaget setengah mati, saat di depan rumahnya berdiri dengan gagah tiang bendera dan bendera merah putih bertengger di pucuknya. Ia tersungkur mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Pagi harinya kantor desa geger. Hansip yang akan menurunkan bendera tidak melihat lagi bendera di atas tiang berkibar, padahal akan dikibarkan lagi saat peringatan kemerdekaan siang harinya. Harto Lurah, yang oleh orangtuanya, Wagimin, diberi nama Suharto, marah besar.
Diiringi para hansip, Harto Lurah berjalan menuju rumah Karno Pacul, yang nama aslinya Sukarno. Embel-embel pacul diperolehnya karena ia pembuat tangkai pacul. Para hansip berteriak-teriak mengajak warga ikut mendatangi rumah Karno Pacul.
Simbok (jawa) = Ibu