Mohon tunggu...
Agung Ismail
Agung Ismail Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Digital Bandung

ceria di manapun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kearifan Lokal Bordir Tasikmalaya dalam Mempertahankan Budaya Masyarakat

9 Agustus 2023   14:56 Diperbarui: 9 Agustus 2023   14:58 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah mempelajari bidang bordir saat bekerja di luar negeri, ia memutuskan keluar dan kembali ke kampung halamannya dan membuka usaha bordir. Ia juga membagikan ilmu tentang bordir yang ia miliki kepada tetangga dan keluarganya.

Kerajinan bordir diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan alat bordir pun semakin berkembang. Jika awalnya peralatan yang digunakan untuk membordir adalah pamidangan dan mesin jahit tradisional yang digerakkan dengan bantuan kaki.

Seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih, sekarang para perajin bordir sudah banyak yang menggunakan mesin bordir yang menggunakan teknologi komputer sehingga memudahkan proses produksi.

Seni bordir, dalam kaitannya dengan aspek  historis  dan  kultural,  baru-baru  ini mesti  diteliti  lebih  mendalam  dari  aspek identitas  kultural  dalam  ranah  estetik belum  cukup  membahas  seni  bordir dengan  mengaitkannya  pada  aspek transformasi  kultural  secara  sinkronik-diakronik  dan  mendalam.  Itu  artinya, masih ada rumpang kosong yang bisa diisi untuk  mengangkat  kembali  pembahasan mengenai  seni  bordir,  khususnya  di Tasikmalaya, dengan mengaitkannya pada aspek yang dimaksudkan  tadi. Tulisan  ini pada prinsipnya mengangkat permasalahan aspek  identitas  dalam  ranah  estetik  dari seni  bordir  Tasikmalaya,  yang  bertolak dari  berbagai  bentuk  perjalanan  historis perkembangan  kesenian  tersebut  hingga konteks  kekinian  yang  terjadi  dalam konstelasi estetik dan identitasnya.

Pandangan  semacam  ini  berpijak pada  kondisi  faktual  yang  menyertai perkembangan historis  dari seni  bordir di Tasikmalaya  dengan  berbagai  pengaruh kemodernan  yang  melanda  dunia perbordiran. Pengaruh tersebut menyentuh hampir setiap ranah yang berkaitan dengan dunia perbordiran, mulai dari  ragam hias, tema, warna, komposisi, teknik, penamaan, hingga karakteristik daerah produksi bordir masing-masing  daerah.  Dalam  konteks kultural,  seni  bordir  Tasikmalaya  juga telah  bercampur  baur  dengan  berbagai identitas  kebudayaan  –  karena  pengaruh kemodernan – yang jika ditelususri secara mendalam dan tuntas, akan terlihat adanya degradasi  identitas  kultural  dalam  seni bordir  tersebut.  Jika  kita  amati  lebih mendalam  tentang  muncul  dan berkembangnya  seni  bordir  Tasikmalaya, akan  terlihat  adanya  refleksi  estetik  dan identitas  kultural  masyarakat  Priangan pada  umumnya,  dan  masyarakat Tasikmalaya pada khususnya. Akan tetapi, nilai estetik dan identitas yang terkandung di  seni  bordir  Tasikmalaya  telah mengalami  transformasi  kultural  secara diakronik-sinkronik, seiring dengan adanya proses  asimilasi,  akulturasi,  enkulturasi, negasi,  sekaligus  adopsi  dengan  berbagai kebudayaan  baru  yang  dianggap  lebih modern dan kekinian. 

Berdasarkan  uraian  di atas,  industri kreatif  seni  bordir  sangat  menarik  untuk diteliti  karena  dalam  seni  bordir  ini mencerminkan  keunikan-keunikan  khas Tasikmalaya  sehingga  menjadi  identitas masyarakat  berupa  corak/motif  yang terdapat pada  seni bordir.  Seni  bordir ini perlu  diteliti  karena  memiliki  tiga  unsur penting,  yaitu  identitas,  perlunya regenarasi  dan  pencatatan (pendokumentasian) yang akan diwariskan pada  generasi  berikutnya.  Adapun  pokok masalah yang diteliti  dalam penelitian  ini adalah (i) regenerasi seni dari generasi tua ke  generasi  muda,  (ii)  penyebaran  atau promosi  produk  seni  budaya  bordir,  (iii) pelestarian  budaya  trasidional  khas  seni bordir Tasikmalaya.

Pembuatan kerancang atau pola seni bordir  memerlukan tingkat  kesabaran dan ketelatenan  yang  sangat  tinggi,  karena pembuatannya masih  menggunakan mesin kejek,  yaitu  mesin  konvesional  yang dioperasikan  secara  manual  dan digerakkan  dengan  menggunakan  kaki sehingga membutuhkan  waktu yang  lebih lama karena prosesnya  yang sangat  rumit dan  mendetail.  Hasil  akhir  dari pengguanan mesin kejek  yaitu seni  bordir tampak sangat  halus,  rekat, cantik,  detail, dan  memuaskan.  Akibatnya,  seni  bordir yang menggunakan  mesin kejek  harganya lebih  mahal  daripada  yang  menggunakan mesin modern (mesin nonkejek). 

Dalam  kaitannya  dengan  proses pewarisan  keterampilan  berbasis  kearifan lokal  yang  ada  di  Tasikmalaya,  hampir seluruhnya  didapatkan  dari  proses regenerasi turun-temurun dari generasi tua kepada  generasi  muda.  Selain  itu, keterampilan  ini  didapatkan  juga  dari proses transfer pengetahuan dari tetangga, keluarga, dan/atau dari masyarakat melalui pendidikan  informal,  yaitu  pendidikan yang tidak terlembagakan – dalam konteks kultural  sering  dipahami  sebagai  proses transfer  pengetahuan  melalui  pendidikan indeginius.  Proses  ini  berlangsung  sudah sangat  lama,  bahkan  berlangsung  sejak kearifan  lokal  ini  lahir  dan  berkembang. Praktis,  jika kita  amati,  peran pendidikan formal  atau  pendidikan  terlembagakan hampir  tidak  ada  sama  sekali.  Dalam realitanya, pendidikan formal semacam itu biasanya hanya mengajarkan keterampilan berbasis  modern,  seperti  keterampilan mengoperasikan  piranti  komputer, keterampilan  menjahit,  tata  rias, keterampilan  membuat  kue,  dan keterampilan-keterampilan  lainnya  yang ada  pada  jurusan  di  sekolah-sekolah menengah kejuruan. 

Proses regenerasi melalui pendidikan indeginius  ini  menjadi  penting  dalam proses penjagaan dan pelestarian kekayaan intelektual  berbasis  kearifan  lokal  di wilayah mana pun (Irwan, 2006). Kondisi ini akan menjadi dilema jika dalam proses regenerasinya,  minim  sumbangsih  dari pihak-pihak  terkait,  seperti  praktisi kerajinan  berbasis  kearifan  lokal,  para perajin,  pemerintah  daerah,  dan sebagainya.  Minimnya  kesadaran  kultural dari para praktisi kerajinan, misalnya, tentu akan  berdampak  pada  kurangnya  proses regenerasi  dari  generasi  tua  kepada generasi  muda.  Oleh  sebab  itu,  posisi kesadaran  kultural  dan  kepekaan  nalar untuk  menjaga dan  melestarikan  kearifan lokal menjadi penting adanya. Apabila hal itu  diabaikan,  maka  proses  pelestarian keterampilan berbasis  kearifan lokal  akan terhambat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan  Gunardi (2014:  330)  bahwa pada  saat  ini  pemertahanan  kehidupan budaya  dan  tradisi  masyarakat  Sunda sedikit demi sedikit mulai termarginalkan. Dalam  kondisi  demikian,  peran  peneliti budaya pun  tidak kalah  pentingnya dalam proses  pelestarian  dan  pendokumentasian budaya  lokal  yang  ada  di  suatu  wilayah tertentu. Hal ini seperti yang  disampaikan Wikandia  (2016:  59)  bahwa  penelitian secara  tidak  langsung  telah  membantu pelestarian budaya lokal.

Dalam  tinjauan  historis,  sebetulnya proses  regenerasi  melalui  pendidikan indeginius sudah  berlangsung sejak  lama, dan  menjadi  keunggulan  masyarakat kultural  yang  sudah  melembaga.  Sebagai contoh,  dalam  praktik  ekonomi  berbasis kearifan  lokal,  sudah  ada  praktik manajemen  dalam  pengelolaan  produk, mulai dari  manejeman produksi oleh para perajin,  manajemen  distribusi  oleh  para pengedar  atau  pengepul,  manajeman pemasaran  produk,  baik  melalui  sentra maupun  melalui  pasar  lokal,  nasional, bahkan ekspor ke mancanegara. Meskipun demikian,  praktik  manajemen  yang  ada masih sederhana dan realtif mengandalkan potensi  yang  ada  di  antara  mereka.  Jika praktik manajemen  ekonomi ini  diseriusi, akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas produk.

Berdasarkan hal  tersebut, berkenaan dengan  bordir  Tasikmalaya  dalam konstelasi  dunia  perbordiran  sebagai konsekuensi  logis  dari  adanya persinggungan  budaya  dalam  ranah kesenian,  maka  kesenian  dalam  hal  ini dipahami sebagai  bagian yang  terintegrasi secara  fungsional  dan  kejiwaan  dalam kebudayaan  yang  didukung  oleh masyarakat  tertentu,  dalam  hal  ini masyarakat Sunda (Rohidi, 2000: 2). Oleh karena  itu,  dapat  dipahami  pula  bahwa setiap  masyarakat  tertentu  baik  sadar maupun  tidak,  menempatkan  kesenian sebagai  ungkapan  dan  pernyataan  rasa estetik  yang  sejalan  dengan  pandangan, aspirasi, kebutuhan, gagasan-gagasan yang mendominasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun