Dengan merujuk pada perbandingan tax ratio antara Indonesia dengan negara - negara anggota OECD, terlihat jelas bahwa kemampuan Indonesia dalam mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk pajak masih tertinggal dan terbelakang dibandingkan dengan negara - negara OECD.Â
Melalui refleksi kekuatan pengumpulan penerimaan pajak, Indonesia masih harus melangkah lebih jauh untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Apabila perbandingan antara tax ratio Indonesia dengan tax ratio negara - negara anggota OECD dirasa kurang "apple to apple", maka berikut analisis lebih lanjut secara komparatif dengan negara - negara di Asia Pasifik. Untuk memberikan gambaran lebih komprehensif mengenai betapa rendahnya tax ratio Indonesia, berikut data yang menunjukan perbandingan secara historis antara tax ratio Indonesia dengan tax ratio negara - negara yang ada di Asia Pasifik (dalam rentang).Â
Berdasarkan data historis tersebut, terlihat jelas bahwa Indonesia selalu menempati posisi di bawah nilai rata - rata dalam scope historis apabila dikomparasikan dengan negara - negara di Asia Pasifik. Adapun pada tahun 2019, negara-negara Asia Pasifik mengalami kenaikan nilai rata-rata dalam tax ratio.Â
Terlihat jelas pada tahun 2019 terdapat kenaikan tax ratio negara - negara Asia Pasifik secara rata - rata, nilai tax ratio negara - negara di Asia Pasifik menyentuh hingga 40 persen. Sedangkan pada tahun yang sama, Indonesia tidak mengalami perubahan banyak dan bahkan cenderung menurun ketika negara - negara Asia Pasik mengalami peningkatan secara rata - rata.Â
Secara kuantitatif, berdasarkan data OECD tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak pernah melebihi tax ratio sebesar 13 persen. Cerminan tersebut menegaskan sekaligus mengkonfirmasi bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuannya dalam mengumpulkan pajak dengan memperhatikan aspek penghindaran pajak.Â
Salah satu bentuk penghindaran pajak yang dapat dilakukan perusahaan dengan memanfaatkan double non-taxation sebagaimana yang telah dijelaskan dan dicontohkan pada bagian sebelumnya adalah transfer pricing. Adapun transfer pricing merupakan transaksi antara pihak berelasi yang berlokasi usaha yang memiliki tingkat pajak bervariasi.Â
Variasi dalam tingkat pajak ini memberikan peluang untuk terlibat dalam penghindaran pajak (Taylor & Richardson, 2012). Senada dengan definisi yang disampaikan oleh Taylor dan Richardson, adapun Mukunoki & Okoshi (2021) mendefinisikan transfer pricing sebagai salah satu cara untuk menggeser laba lintas negara - negara untuk memanipulasi harga dari perdagangan intra - perusahaan (Mukunoki & Okoshi, 2021).Â
Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa transfer pricing, sebagaimana istilahnya, merupakan bentuk harga transfer. Pada dasarnya, perusahaan multinasional dapat membuat struktur dan pembayaran harga serta perdagangan intra - perusahaan untuk memfasilitasi penghindaran pajak. Struktur dan pembayaran harga serta perdagangan yang dilakukan dalam intra - perusahaan ini dilakukan terutama dengan cara menetapkan "harga transfer" antar perusahaan artifisial secara strategis.Â
Hal tersebut diistilahkan sebagai transfer pricing. The Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dan negara - negara G20 menyusun kerangka inklusif pada Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang salah satu aksinya adalah mengatur mengenai transfer pricing. Aksi 8 - 10 membahas panduan transfer pricing untuk memastikan bahwa hasil transfer pricing lebih selaras dengan penciptaan nilai dari perusahaan grup multinasional. Dalam hal ini, Aksi 8 - 10 memperjelas dan memperkuat standar yang ada, termasuk panduan penerapan prinsip arm's length principle dan pendekatan untuk menentukan harga yang tepat atas aset - aset tak berwujud yang sulit dinilai dalam prinsip arm's length principle.Â