Mohon tunggu...
A. Firmandika
A. Firmandika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang suka menonton film, mendengarkan musik, dan membaca komik.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Analisis Kijing Pada Makam K.R.T. Sasmintadipura Menggunakan Teori 5 Sila Estetika Desain

11 Desember 2024   04:50 Diperbarui: 11 Desember 2024   04:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Relief kijing  berbentuk tindakan padmasana (Sumber: Dokumentasi Pribadi)     

Oleh: Agung Firmandika1, Andrea Nisrina Putri Shakila2, Azzahra Amelia Nurfitri3, Desvita Savienna P.4, dkk. 


Prodi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain, 

Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jalan Parangtritis KM. 6,5 Sewon Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

 ABSTRAK 

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana desain kijing pada makam K.R.T Sasmintadipura dapat dipahami melalui kacamata estetika Desain Komunikasi Visual. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan kajian literatur. Dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes dan teori 5 Sila Estetika Desain, penelitian ini memberikan perspektif baru terhadap makam sebagai objek yang kaya akan simbolisme dan makna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain kijing pada makam K.R.T Sasmintadipura memiliki elemen-elemen simbolis mendalam, termasuk bentuk trapesium pada kijing, relief figur manusia, serta elemen dekoratif seperti bokor dan patung Bhatara Guru. Setiap elemen tersebut berfungsi sebagai tanda yang mengandung makna tertentu, baik dalam konteks keagamaan, budaya, maupun sebagai media komunikasi visual. 

Kata kunci: makam K.R.T. Sasmintadipura, kijing, estetika desain, desain komunikasi visual, semiotika. 

ABSTRACT 

This research aims to analyize how the design of the kijing at the tomb of K.R.T Sasmintadipura can be interpreted through the aesthetic lens of VIsual Communication Design. The method used is descriptive qualitative, with data being collected through observation, interviews, and literature review. By using the Roland Barthes semiotics approach and the 5 Precepts of Design Aesthetics theory, this research provides a new perspective on the tomb as an object that is full of symbolism and meaning. The results of the research show that the design of the kijing at the tomb of K.R.T Sasmintadipura has deeply symbolic elements, including the trapezoidal shape of the kijing, human figure reliefs, and decorative elements such as bokor and Bhatara Guru statues. Each of these elements functions as a sign that contains certain meanings, both in the context of religion, culture, and as a visual communication medium. 

Keywords: K.R.T. Sasmintadipura's tomb, kijing, design aesthetics, visual communication design, semiotics 

PENDAHULUAN 

Indonesia memiliki banyak keragaman suku, budaya, dan agama sehingga banyak peninggalan yang dihasilkan oleh masyarakat. Mulai dari peninggalan berupa kekayaan budaya yang berwujud dan tidak berwujud. Pada dasarnya, setiap hasil dari buah pikir dalam suatu masyarakat dapat mengandung nilai estetika di dalamnya. Salah satunya adalah peninggalan bersejarah berupa makam. Setiap budaya, suku, maupun agama memiliki tata cara dan ciri khas pemakaman tersendiri. Secara tidak langsung, pembuatan batu nisan maupun kijing dalam sebuah makam akan memberikan unsur identitas, informasi, dan bahkan promosi. Oleh karena itu, batu nisan atau mengandung kijing unsur pada estetika makam yang kemudian menjadi sarana komunikasi visual yang tidak lengkang oleh zaman. Dikutip dari Braembussche dalam Alfiansyah Zulkarnain dkk. (2019:2), Estetika adalah cabang ilmu yang mendalami tentang nilai, terutama nilai keindahan. Pada konteks desain komunikasi visual, istilah estetika ini berada dalam lingkup yang lebih sempit, terkait dengan ranah filsafat seni.

Makam merupakan tempat dimana seseorang disemayamkan setelah meninggal dunia. Selain itu, makam juga menjadi tempat yang disakralkan karena sudah menjadi bagian penting dalam siklus hidup manusia. Dikutip dari M. Misbahul Mujib pada Benny Afwadzi (2018:103), Makam dianggap sebagai tempat suci dan pantas dihormati, sehingga mengundang orang untuk berziarah dengan berbagai motivasi.

Berbeda dengan Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto yang berada di Yogyakarta, saat ini lebih familiar dengan sebutan makam seniman. Pemakaman yang berlokasi di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul ini dikhususkan untuk para seniman dan budayawan Indonesia. Pemakaman ini tidak memandang agama tertentu. Seniman dengan penganut agama apapun diperbolehkan dimakamkan disini, asalkan ia berprofesi sebagai seniman atau budayawan yang sudah dikenal oleh khalayak. Pembeda makam ini dengan tempat lain adalah lokasinya yang juga digunakan sebagai tempat wisata. Pada umumnya, ketika melihat tempat pemakaman seseorang akan menilai lokasi tersebut dengan penuh kemistisan. Namun, pada makam Giri Sapto ketika pengunjung memasuki lokasi makam, mereka langsung disuguhi pemandangan alam dan keunikan batu nisan yang berada di area pemakaman.

Penelitian ini mengambil objek berupa komponen makam yang umum digunakan meliputi nisan dan kijing. Nisan merupakan batu tanda kubur dan menjadi komponen utama sebuah makam. Bentuk nisan banyak mengalami perkembangan seiring berkembangnya pola pikir manusia. Berdasarkan persebarannya bentuk dan corak nisan memiliki banyak tipe, seperti nisan tipe Aceh, Demak-Troloyo, Bugis-Makassar dan lokal Menurut Ambary yang dikutip oleh Aldita Ifani (2022:3). Sedangkan menurut KBBI, kijing merupakan batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisannya. Kijing menjadi simbol tradisi pemakaman yang mencerminkan kehormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia (1988:616). 

Kami memilih objek kijing makam KRT Sasmintadipura (Soemardjono) sebagai objek pengkajian sebab pada makam tersebut terdapat berbagai ragam hias sehingga membuatnya tampak lebih mencolok dibanding dengan makam lain yang berada di komplek pemakaman tersebut. Mendiang dikenal sebagai seorang penari, pengajar dan koreografer. Bahkan, mendiang juga mendapatkan julukan sebagai satu-satunya empu tari yang ada sampai saat ini dalam rangka melestarikan dan mengembangkan tari Jawa gaya Yogyakarta. Hal menarik lain yang ada pada makam menurut juru kunci makam adalah mendiang dan keluarga mendiang berlatar belakang agama Islam, namun didapati sebuah akulturasi kebudayaan Hindu pada makamnya. Makam K.R.T. Sasmintadipura berada di Komplek Makam Seniman Giri Sapto, juga merupakan komplek pemakaman pertama di Indonesia yang didedikasikan kepada para mendiang Seniman Indonesia. 

Analisis estetika desain ragam hias yang terdapat di Makam K.R.T. Sasmintadipura memiliki kebaruan dan keunikan sehingga mengundang atensi kami untuk mengamati lebih detail. Setelah pengamatan, kami merasa penempatan patung di bilik makam dan penerapan ornamen pada kijing tidak hanya sekedar sebagai ragam hias. Namun, juga memiliki muatan simbol mengenai latar belakang mendiang yang dimakamkan.

 Dalam pengkajian ini dipilih metode penelitian kualitatif deskriptif. Dengan teknik pengolahan data dilakukan melalui observasi, wawancara, serta kajian pustaka. Di mana data yang disajikan berdasarkan dari fakta dan fenomena yang didapatkan dari hasil observasi, wawancara, serta kajian literatur.

Dalam Eko Murdiyanto (2020:12) metode penelitian kualitatif sebenarnya mencakup sebuah cara pandang atau pemaknaan terhadap empiris yang dikonstruksi secara sosial berdasarkan kesepakatan subjektif. Oleh sebab itu, “objektivitas” hasil riset kualitatif bergantung pada nilai subjektivitas orang yang mengkonstruksi realitas. Perlakuan peneliti terhadap sebuah gejala atau fenomena sebagai dampak dari paradigma yang dipilih akan berdampak secara metodologis terhadap pendekatan penelitian dan akan berdampak pada metodologi penelitian.

Dengan begitu, penelitian ini menggunakan teori 5 Sila Estetika Desain dengan teori pendukung semiotika Roland Barthes guna membantu menganalisis objek kajian. Didapati penelitian bertujuan untuk menganalisis nilai estetika dengan fungsionalitas dalam desain batu nisan seniman K.R.T. Sasmintadipura. 

Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat terhadap bagaimana seorang desainer komunikasi visual melihat peninggalan sejarah berupa makam menjadi media pemberi identitas, media berkomunikasi, dan media promosi dalam kacamata estetika ketinggalan, desain. penelitian ini Tidak juga menawarkan noveltis dalam cara pandang kijing sebagai bagian dari identitas serta sejarah hidup orang yang telah tiada layak untuk dikaji serta didalami, tidak terbatas dalam kajian estetika desain semata tapi juga dalam keilmuan desain komunikasi visual. 

METODOLOGIPENELITIAN 

Metodologi penelitian merupakan metode ilmiah yang dirancang untuk mencari atau memperoleh data untuk tujuan tertentu. Penelitian ini penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan serta menggambarkan fenomena-fenomena yang ada baik yang bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, serta lebih memperhatikan karakteristik, kualitas, serta keterkaitan antar kegiatan (Sukmadinata, 2011). 

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dimana data yang disajikan disampaikan secara deskriptif berdasarkan dari fakta dan fenomena yang didapatkan dari hasil pengumpulan data. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme digunakan atau interpretif, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, data yang diperoleh cenderung data kualitatif, analisis data bersifat induktif atau kualitatif dan hasil penelitian kualitatif bersifat untuk memahami makna, memahami keunikan, mengkonstruksi fenomena, dan menemukan hipotesis (Sugiyono, 2017). Metode deskriptif adalah penelitian menggambarkan, yang melukiskan, atau memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagai apa adanya, sesuai dengan situasi dan kondisi ketika penelitian tersebut dilakukan (Sugiyono, 2017).

Teknik pengolahan data dilakukan melalui observasi, wawancara, serta kajian pustaka. Observasi dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 2 November 2024 pada lokasi subjek penelitian yaitu Makam Seniman Giri Sapto. Selain observasi, peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber setempat yaitu juru kunci makam tersebut yang sudah diberi wewenang untuk menjaga makam Giri Sapto semenjak tahun 1996. Pengolahan data melalui kajian pustaka dilakukan dari mengumpulkan data dari buku dan jurnal yang relevan dengan objek penelitian. Selama pengumpulan data, teknik yang digunakan adalah dokumentasi dan pencatatan data. 

 Penelitian ini juga menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang mencakup denotasi, konotasi, dan mitos. Makna denotasi menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda sehingga menghasilkan makna secara langsung atau sebenarnya. Makna konotasi yakni menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan emosi serta nilai-nilai dari pengalaman struktural. Kemudian dalam proses penandaan juga dapat dilihat dari mitos yang menandai suatu masyarakat (Rohmaniah, 2021). 

HASIL DANPEMBAHASAN 

K.R.T. Sasmintadipura Sebagai Tokoh Seniman Tari Di Keraton Yogyakarta (Biografi) 

K.R.T. Sasmintadipura, akrab dipanggil Rama Sas, lahir dengan nama Soemardjono pada tanggal 9 April 1929. Beliau merupakan anak dari pasangan Raden Bekel Mangoen Soerowibowo seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan Suyatimah. Namanya sudah tidak asing di telinga seniman tari maupun masyarakat Yogyakarta pada umumnya. K.R.T. Sasmintadipura dikenal sebagai penari, koreografer, guru tari, bahkan disebut sebagai Mpu Tari pada masa sekarang karena tekad dan perannya dalam mengembangkan tari adat Gaya Keraton Yogyakarta. Beliau Sekolah Dasar menyelesaikan Kanisius di Mangkukusuman pada tahun 1941, kemudian beliau melanjutkan pendidikan hingga SMP Nasional namun tidak beliau selesaikan karena kesibukannya saat berlatih tari di Kraton.

Awal mula beliau memulai tari adalah berkat atas perintah ibunya. Beliau sudah mengenal dunia seni tari dari usia yang masih sangat belia, yaitu dari usia 7 tahun. Orang pertama yang mengajari beliau menari adalah teman akrabnya, yaitu Suyadi. Pada tahun 1942, di usia 13 tahun, K.R.T Sasmintadipura duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Nasional. Pada usia ini, beliau mulai mengikuti magang dan mempelajari tari klasik gaya Yogyakarta secara mendalam di Kraton. Beliau dibimbing secara intensif oleh R. Atmasemedi, GBPH Pujakusuma, dan K.R.T. Purbaningrat.

Penampilan perdananya dipentaskan di Kraton Yogyakarta sebagai penari putri dalam Wayang Wong. Perangainya yang tampan, memiliki warna kulit kuning langsat, dan berpostur ramping membuat gurunya mengarahkannya sebagai penari putri. Beliau tidak diajarkan tari putra gagah dan tari putra alus oleh gurunya karena agar beliau fokus mendalami karakter tari putri. Keuletan dan dedikasinya dalam berlatih menari di Kraton Yogyakarta sejak memulai menari, membuatnya memiliki peran penting dalam waktu yang singkat hingga mementaskan Wayang Wong, antara lain sebagai Dewi Mustikawati, Dewi Kunti, Dewi Suprabawati, dan Dewi Srikandi. Bahkan, K.R.T. Sasmintadipura terpilih untuk menarikan tari ciptaan Sri Sultan dengan peran Dewi Sirtupelaeli, dimana beliau juga diperintahkan mentransformasikan untuk gerakan Wayang Golek ke gerakan-gerakan tari.  

Pada tahun 1946, Sultan Hamengku Buwana IX menganugerahinya pangkat sebagai Abdi Dalem Jajar dengan nama Prajaka Mardawa. Kemudian di tahun 1955, pangkatnya menjadi Raden Bekel dengan nama Sasminta Mardawa. Pada tahun 1977, ia menerima pangkat Raden Lurah. Pangkat Raden Wedana diterima pada tahun 1984, kemudian menerima pangkat Raden Riyo pada tahun 1989 dengan nama sama. Terakhir, pangkat Kangjeng Raden Tumenggung diterima pada tahun 1994 dengan nama Sasmintadipura. 

Selain sebagai seorang penari, K.R.T. Sasmintadipura juga dikenal sebagai pencipta tari. Karya tari pertamanya adalah Tari Golek Cluntang. Berkat kemampuan, kreativitas, dan dedikasinya, beliau kemudian diangkat menjadi guru tari di Bebadan Among Beksa Keraton Yogyakarta pada tahun 1956. Bebadan Among Beksa adalah organisasi tari yang didirikan pada tahun 1950 di luar tembok kraton, tepatnya di Dalem Purwadiningratan, yang berada di bawah pengawasan Kawadenan Hageng Punakawan Kridha Mardawa Kraton Yogyakarta. Di sini, K.R.T. Sasmintadipura memiliki kebebasan untuk mengembangkan tari putra alus, yang memberi ruang lebih luas baginya untuk mengeksplorasi seni tari tanpa harus memerankan peran putri. Selama menjadi penari di sini. K.R.T. Sasmintadipura telah memainkan berbagai peran penting, seperti Prabu Jungkung Mardeya, Prabu Hendragupita, Bathara Wisnu, dan Bathara Guru.

K.R.T Sasmintadipura pernah memimpin organisasi budaya bernama Perkumpulan Tari Klasik Mardawa Budaya dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta. Kedua organisasi yang beliau pimpin bertujuan agar Tari Adat Gaya Kraton Yogyakarta tetap terus dilestarikan dan dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan zamannya. Berkat tekad dan wawasannya untuk melestarikan warisan budaya masa lalu, beliau mampu mengolah format tari yang kemudian ia kembangkan dan wariskan ke generasi baru melalui organisasi budaya yang ia pimpin tersebut. 

Bagi K.R.T Sasmintadipura, melalui pembelajaran tari, seseorang tidak hanya memperoleh pendidikan fisik, namun juga spiritual. Pendidikan fisik tercermin dalam tata susila yang dipelajari melalui aturan-aturan tari yang ketat, sementara pendidikan spiritual atau batin diperoleh dari pelajaran tentang budi pekerti, cara berpikir, dan pandangan hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Berdasarkan pemahaman ini, beliau memiliki tanggung jawab untuk memetri (menumbuhkan rasa memiliki dan keinginan untuk memahami), melestarikan (agar tradisi tetap hidup), serta mengembangkan tari dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang ada. 

Pengabdiannya dalam dunia tari berakhir ketika Tuhan memanggilnya pada tanggal 26 April 1996. K.R.T Sasmintadipura berpesan untuk generasi selanjutnya melestarikan tari klasik gaya Yogyakarta. Hingga saat ini, karya-karyanya telah menjadi materi lomba tari di tingkat SLTP dan SLTA, sehingga turut menentukan standar pendidikan ekstrakurikuler tari di sekolah-sekolah. Keberhasilannya dalam mengembangkan seni tari di Yogyakarta, membuatnya meraih berbagai penghargaan, termasuk dari Pemerintah DIY, pemerintah pusat,  Keraton Yogyakarta,  Lembaga Kebudayaan Amerika, serta puluhan penghargaan lainnya dari berbagai lembaga.  

Identifikasi dan Deskripsi Tanda Verbal dan Visual Pada Makam K.R.T. Sasmintadipura.

 

Gambar 2.  Tampak depan makam  K.R.T. Sasmintadipura (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2.  Tampak depan makam  K.R.T. Sasmintadipura (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 3. Relief  maejan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3. Relief  maejan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 4. Relief kijing  berbentuk tindakan padmasana (Sumber: Dokumentasi Pribadi)     
Gambar 4. Relief kijing  berbentuk tindakan padmasana (Sumber: Dokumentasi Pribadi)     

Gambar 5. Relief  kijing berbentuk tanaman hias (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 5. Relief  kijing berbentuk tanaman hias (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tanda Verbal 

Tanda Verbal pada Makam KRT Sasmintadipura terdapat pada papan nama batu nisan yang terpampang di bagian depan kijing, papan nama tersebut berbentuk trapesium mengikuti bentuk kijing dan berwarna putih kecoklatan serta berbahan dasar batu marmer. 

Berikut adalah Tanda Verbal yang terdapat pada papan nama batu nisan KRT Sasmintadipura 

NAMA:K.R.T. SASMINTADIPURA 

LAHIR: SELASA LEGI 9 - 4 - 1929 

WAFAT: SABTUPAHING 26 - 2 - 1996 

KASEKAR: 28 - 2 - 1999

Tanda Visual 

Pada makam K.R.T. Sasmintadipura  terdapat kijing berbentuk trapesium dengan dua undakan berbentuk persegi panjang yang bertumpuk sehingga terlihat seperti tangga. Pada bagian alas memiliki ukuran yang lebih lebar daripada kijing yang ada diatasnya, sedangkan dua undakan di atas alas ukurannya semakin mengecil. Lalu, ada dua buah bokor yang berisi bunga, dupa, dan kemenyan yang diletakan pada undakan kijing tersebut, bentuk serta warna dari dua buah bokor berbeda yakni pada bokor disebelah kiri berbentuk mangkuk dengan kaki sehingga terlihat seperti cawan yang berwarna coklat kehitam-hitaman sedangkan pada bokor sebelah kanan, bentuknya seperti mangkuk biasa yang berwarna coklat muda.

Selain itu, sisi samping kijing terdapat relief sembilan figur manusia dengan bentuk menyerupai wanita yang sedang duduk sila, lalu di sisi kanan dan kirinya terdapat ukiran berbentuk tanaman di dalam pot. Kostum dari sembilan figur manusia tersebut memakai kostum yang identik dengan pakaian penari jawa berupa rok dengan atasan kemben, lalu di bagian leher melingkar sebuah kalung yang menutupi setengah bagian dada, ditambah gelang yang terpasang pada lengan figur manusia tersebut. Kemudian ukiran tanaman yang terdapat di ujung kanan dan kiri relief memiliki pola daun dan batang dengan arah berlawanan. Pada tanaman yang berada di kiri, pola daun dan batang mengarah ke kiri ke arah batas kijing, begitupun sebaliknya. Di atas kijing tertanam dua maejan atau secara umum disebut dengan batu nisan. Bentuk kedua maejan itu menyerupai kuncup bunga melati yang jika dilihat lebih seksama berbentuk seperti mahkota yang memiliki sudut lancip di bagian atasnya.

Tidak hanya kijing yang ada pada makam Sasmintadipura, tetapi juga terdapat sebuah patung yang menghadap ke arah kijing. Patung tersebut adalah figur Bhatara Guru yang berukuran sekitar 2-3 meter yang sedang duduk diatas kursi sambil meletakan kakinya di atas lembu. Lalu bentuknya menampilkan empat tangan dengan gestur yang berbeda, tangan paling kiri terletak diatas paha, dan tangan paling kanan terletak di samping lutut sedangkan dua tangan paling depan terletak di atas dada.

Aspek lain yang menonjol pada patung Bhatara Guru adalah ukiran pakaian bermotif yang dikenakannya. Pada bagian atas terdapat kain penutup dada yang dihiasi dengan kalung yang berbentuk dasar segitiga. Kalung tersebut memiliki ukuran yang besar dan melebar. Pada bagian bawah tubuh terdapat ukiran celana dan kain bermotif batik parang yang menjuntai hingga ke kaki patung tersebut.

Tabel Analisis Semiotika Roland-Barthes Pada Kijing Makam K.R.T. Sasmintadipura

No.

Penanda Visual

Makna Denotatif

Makna Konotatif

1.

Kijing

Kijing adalah batu penutup makam yang menyatu dengan nisannya (terbuat dari pualam, tegel atau semen).

Bentuk kijing memiliki tiga bagian, yaitu dua undakan di bagian bawah yang tampak seperti alas kijing, kijing yang berisi nisan di bagian selatan serta relief pada sisi kiri dan kanan, lalu terdapat atap kijing yang disertai dua buah maejan di atasnya.

Tiga bagian ini menyerupai anatomi makhluk hidup, yaitu kepala, badan dan kaki atau pada tumbuhan daun & buah, batang dan akar.

Tiga bagian kijing juga dapat diartikan sebagai pembagian tiga alam (Tri Loka) dalam kosmologi Hindu, yaitu Bhur Loka, Bwah Loka & Swah Loka.

2.

Papan nisan berbahan marmer

Papan nisan yang berisi informasi mengenai nama, kelahiran, wafat, serta ka sekar orang yang dimakamkan. Papan nisan terbuat dari bahan marmer berwarna putih dan berbentuk trapesium mengikuti bentuk batu nisan.

Papan nama yang berbahan batu marmer menunjukkan kemegahan yang dapat mewakili status sosial mendiang yang dimakamkan.

3.

Dua buah bokor

Bokor adalah salah satu bentuk kerajinan Nusantara yang terbuat dari tanah liat, biasanya digunakan sebagai tempat untuk menaruh bunga, dupa, dan kemenyan yang biasa diletakkan bagi penziarah yang mendatangi makam tersebut.

Dalam tradisi ziarah masyarakat Jawa pada umumnya, prosesi menabur atau membakar kemenyan merupakan salah satu sarana penyembahan atau pemujaan kepada mendiang yang dimakamkan.

Selain memiliki nilai guna, penempatan bokor sebagai wadah kemenyan dan dupa juga dapat memberi kesan wingit pada makam yang dapat mencegah kerusakan makam dari injakan atau aksi vandal.

4.

Dua maejan kuncup bunga melati berujung lancip.

Dua maejan, yaitu dua batu hias yang dipajang pada bagian atas kijing. Dua maejan tersebut berbentuk kotak seperti mahkota lengkap dengan garis-garis di tubuhnya dan bagian yang agak lancip di atasnya.

Maejan adalah salah satu ciri dari makam-makam khas Mataram, sering ditemui di berbagai makam peninggalan Mataram.

Ornamen kuncup bunga melati merupakan salah satu bentuk ornamen khas Yogyakarta. Penggunaan ornamen kuncup bunga melati dapat ditemui di berbagai sudut Keraton Yogyakarta, Museum, gapura desa hingga hiasan di rumah warga di Yogyakarta.

Penggunaan maejan dengan ukiran kuncup melati yang  berujung lancip dan memiliki bentuk seperti mahkota raja dapat dimaknai sebagai simbolisasi gender dari mendiang yang dimakamkan serta mewakili status mendiang yang memiliki hubungan dengan keraton Yogyakarta.

 

5.

Relief pada sisi kiri dan kanan Kijing

- Sembilan relief yang menyerupai figur manusia

- Dua relief yang menyerupai bentuk tumbuhan

- Kontur pembatas sebagai bingkai

Relief adalah salah satu ragam seni rupa tiga dimensi yang biasanya dipahat/diukir di sebuah tembok candi, tembok rumah, hingga kijing sebagai pengisi ruang/hiasan. Relief biasanya memuat gambar sekuensial mengenai cerita pewayangan, kehidupan masyarakat, fabel hingga nilai-nilai filosofi kehidupan

Sembilan figur yang menyerupai sosok manusia berbadan kekar dengan gaya pahatan yang berbeda pada sisi kiri dan kanan kijing, yang mungkin saja karena perbedaan gaya pahatan dari orang yang berbeda atau memang sengaja dibuat berbeda seolah-olah merupakan sosok yang berbeda satu sama lain.

Meskipun memiliki perbedaan, kesembilan figur memiliki kesamaan, yaitu: busana (mahkota, badong, kelat bahu, gelang, dan kamen berkancut), posisi membujur dari arah utara ke selatan dengan gestur Padmasana yang tingginya sejajar. Dengan demikian kesembilan relief berbentuk figur manusia tersebut dapat diartikan sebagai visualisasi dari “Dewata Nawa Sanga”.

Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan Dewa Hindu yang menempati sembilan arah mata angin. Penerapan relief Dewata Nawa Sanga berkaitan dengan penempatan patung Dewa Siwa/Bhatara Guru pada makam. Visualisasi Dewa Siwa pada relief dapat terlihat pada sosok yang berada di tengah yang tampak lebih stand out dengan gaya ukiran yang berbeda, posisi ini serupa dengan posisi Dewa Siwa pada Dewata Nawa Sanga yang berstana di bagian tengah arah mata angin.


Sebagai sosok Mpu Tari di Keraton Yogyakarta, Alm. K.R.T Sasmitadipura merupakan salah satu pencipta tari Bedhaya Purnama Jati. Tari Bedhaya Purnama Jati ditarikan oleh sembilan penari perempuan. Sehingga sembilan sosok tersebut juga dapat mewakili sosok K.R.T. Sasmitadipura sebagai pencipta tari Bedhaya Purnama Jati. Formasi sembilan penari pada tari Bedhaya juga memiliki kesinambungan dengan filosofi “Dewata Nawa Sanga”.

Dua relief tanaman sebagai pembuka dan penutup relief memiliki bentuk yang serupa namun berbeda. Pada relief tumbuhan di sebelah kiri (pembuka) terdapat bagian yang menyerupai cula yang menjorok ke dalam. Sedangkan pada relief tanaman sebelah kanan (penutup) tidak terdapat bentuk yang menyerupai  cula. Dengan bentuk yang berbeda satu sama lain, dapat diasumsikan bahwa relief tanaman tersebut merupakan salah satu bentuk keragaman visualisasi dari Yoni & Lingga sebagai simbolisasi awal mula kehidupan di semesta.

Kontur pada sisi terluar berbentuk trapesium yang membungkus semua relief dapat diasumsikan sebagai bingkai. Penerapan bingkai pada relief-relief Hindu merupakan salah satu cara penyampaian bagian-bagian cerita atau babad. Bentuk bingkai trapesium yang mengecil di bagian atas merespons bentuk kijing merupakan simbolisasi kekokohan/teguh, keagungan, fokus (menuju satu pusat).

Narasi dari relief pada sisi kiri dan kanan kijing dapat dimaknai sebagai visualisasi dari lakon kehidupan sang mendiang K.R.T. Sasmintadipura yang penuh akan nilai-nilai spiritual, keteguhan dan fokus/tulus akan dedikasinya semasa hidup terhadap perkembangan seni tari di Keraton Yogyakarta.

6.

Kontur dan undakan

Kontur adalah garis, bentuk atau pola yang memberi batas pada suatu objek.

Undakan adalah tingkatan pada struktur suatu objek dengan formasi vertikal (atas ke bawah).

Penerapan kontur dan undakan dapat dilihat hampir terdapat di berbagai bagian kijing. Selain sebagai penambah unsur estetika pada kijing juga menjadi penanda bagian-bagian yang berbeda satu sama lain, seperti alas/kaki kijing dengan badan kijing, badan kijing dengan kepala/atap kijing, juga menjadi bingkai dari relief di badan kijing.

Penerapan kontur dan undakan membuat kijing tampak lebih bervolume, artistik, dan megah. Hal tersebut memberi kesan bahwa makam tersebut bukanlah makam orang biasa. Menjadi simbol bahwa makam tersebut merupakan makam seseorang yang memiliki status sosial yang berbeda, baik jabatan, kasta, profesi ataupun harta kekayaan.

7.

Patung Bhatara Guru atau Dewa Siwa

Patung Dewa Siwa atau Bhatara Guru yang terbuat dari batu yang sama dengan batu kijing. Sosok Dewa Siwa atau Bhatara Guru terlihat dengan posisi duduk di singgasananya dengan kaki yang diletakkan di atas seekor Lembu yang bernama Nandini/Nandi yang merupakan vahana atau kendaraan suci beliau.

Bhatara Guru adalah penamaan Dewa Siwa dalam kebudayaan Hindu Nusantara.

Penempatan patung Bhatara Guru pada makam K.R.T. Sasmitadipura merupakan visualisasi Dewa Siwa sebagai Nataraja, yaitu penamaan Dewa Siwa atas perannya sebagai Dewa Tari. Patung Bhatara Guru pada makam K.R.T. Sasmitadipura merupakan simbolisasi dari latar belakang K.R.T. Sasmitadipura yang merupakan seorang Mpu Tari di Keraton Yogyakarta yang posisinya dapat disetarakan dengan Bhatara Guru sebagai Dewa Tari.

8.

Material Batu Andesit

Batu andesit adalah batuan vulkanik beku yang terbentuk dari lelehan magma gunung berapi. Batu andesit dapat ditemukan di lereng di sekitar gunung berapi aktif atau bekas gunung berapi.

Penggunaan material batu andesit pada kijing memiliki kesamaan dengan material pada candi-candi yang berada di Jawa Tengah. Berbeda dengan candi-candi di Jawa Timur yang menggunakan material batu bata yang terbuat dari tanah liat.

Penggunaan batu andesit sebagai material utama bangunan-bangunan peninggalan Hindu-Buddha di Jawa tengah tak lepas dari faktor geografi karena terdapat banyak gunung berapi sehingga material mudah didapatkan.

Penggunaan batu andesit sebagai material dapat mewakili upaya mengaitkan nilai kebudayaan melalui pendekatan seni rupa dan arsitektur peninggalan Hindu - Buddha di Jawa Tengah-Yogyakarta.

Tabel 1 Analisis Visual

No.

Penanda Verbal

Makna Denotatif

Makna Konotatif

1. 

Nama: K.R.T. SASMINTADIPURA

Merupakan informasi identitas mendiang yang dimakamkan, yaitu KRT atau Kanjeng Raden Tumenggung Sasmintadipura.

Gelar Kanjeng Raden Tumenggung merupakan gelar yang diberikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX atas dedikasi Alm. K.R.T. Sasmitadipura semasa hidupnya terhadap perkembangan seni tari di Keraton Yogyakarta.

Gelar K.R.T. pada nisan menandakan beliau merupakan seorang yang memiliki status sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

2. 

LAHIR: SELASA LEGI 9 4 1929

Informasi tanggal kelahiran orang yang dimakamkan. Tanggal dituliskan menggunakan sistem kalender Jawa. KRT Sasmintadipura lahir pada hari Selasa Legi tanggal 9 April 1929.

Menandakan bahwa beliau lahir dengan prosesi adat Jawa.

3.

WAFAT: SABTU PAHING 26 2 1996

Informasi tanggal wafat orang yang dimakamkan. Tanggal dituliskan menggunakan sistem kalender Jawa. KRT Sasmintadipura wafat pada hari Sabtu tanggal 26 Februari 1996.

Menandakan bahwa beliau wafat dan disemayamkan dengan prosesi adat Jawa.

4.

KA SEKAR: 28-2-1999

Informasi tanggal kapan orang yang dimakamkan tersebut di-ka sekar. Ka sekar merupakan istilah Jawa pada saat pemasangan kijing atau nisan pada makam. KRT Sasmintadipura di-ka sekar-kan tiga tahun setelah kewafatannya yaitu pada tanggal 28 Februari 1999.

Menandakan bahwa prosesi pemakaman beliau menggunakan adat Jawa.

Tabel 2 Analisis Verbal

Analisis Semiotika Berdasarkan Identifikasi Tanda Verbal dan Tanda Visual dengan 5 Sila Estetika Desain Pada Kijing Makam K.R.T. Sasmintadipura

Berdasarkan hasil identifikasi dan deskripsi tanda verbal dan tanda visual pada kijing K.R.T Sasmintadipura, berikut uraian analisis kijing K.R.T Sasmintadipura dengan pendekatan 5 sila estetika desain:

 A. Sila Ke-2, Unsur Masa Depan 

Penerapan ragam hias berupa relief dan maejan pada kijing K.R.T. Sasmintadipura tidak hanya ditampilkan sebagai kebutuhan estetika yang menimbulkan kesan mewah dan megah, elemen ragam hias tersebut juga memuat simbol-simbol yang dapat dibaca di masa depan sebagai informasi latar belakang kehidupan mendiang K.R.T. Sasmintadipura. Selain itu, ragam hias yang mengacu pada kebudayaan Hindu-Buddha, memiliki nilai-nilai warisan budaya yang dapat budaya menghubungkan masa lampau serta relevansinya dengan generasi masa depan. 

Selain itu, ragam hias yang terdapat pada kijing ini berkaitan dengan salah satu fungsi Desain Komunikasi Visual yaitu fungsi Informasi. 

B. Sila ke-3, Simbolisasi. 

Ragam hias pada makam K.R.T Sasmintadipura mengandung simbol yang merepresentasikan latar belakang mendiang sebagai seorang Mpu Tari di Keraton Yogyakarta. Berdasarkan sila  estetika, sila simbolisasi memiliki unsur kesederhanaan, kreatifitas, dan matematis. Maka dari itu, dapat dipaparkan bahwa terdapat unsur kreativitas pada ragam hias makam K.R.T. Sasmintadipura. Unsur kreativitas pada makam mendiang dapat dilihat dari bentuk dasar bunga melati yang mempunyai kuncup lancip. Maejan berbentuk bunga melati adalah bentuk maejan khas Yogyakarta. Tidak hanya itu, bagian atas maejan yang mewakilkan laki-laki. jenis Bentuk meruncing kelamin tersebut menghasilkan simbol tersendiri dan memiliki pendekatan yang menarik. Oleh karena itu, maka dapat diambil makna secara konotatif bahwa bentuk maejan melati yang memiliki kuncup lancip merepresentasikan jenis kelamin mendiang yang dipadukan dengan ciri maejan khas Yogyakarta. Unsur kreativitas pada makam K.R.T. Sasmintadipura terlihat jelas dari penerapan berbagai bentuk ragam hias pada kijing dan penempatan patung Dewa Siwa sebagai upaya pengaplikasian unsur estetika juga penyampaian informasi tertentu. Pada kijing terlihat terdapat beberapa undakan, kontur, relief dan maejan yang dibentuk menyerupai mahkota raja.

C. Sila ke-5, Maskulinitas atau Feminitas. 

Sekilas makam K.R.T. Sasmintadipura terlihat memiliki aura maskulinitas yang cukup kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai elemen yang ada pada makam K.R.T. Sasmintadipura, seperti: 

- Warna hitam dari material batu andesit. Penggunaan batu andesit sebagai material dari bagian-bagian makam mengakibatkan makam didominasi oleh warna abu tua dan hitam. Kombinasi warna gelap disertai dengan aksen khas dari batu andesit memberi kesan formal, kebijaksanaan dan berwibawa.

- Patung Bhatara Guru atau Dewa Siwa. Pada sisi barat makam terdapat sebuah patung yang merupakan visualisasi dari Bhatara Guru atau Dewa Siwa. Dengan beralaskan sketsel permanen yang terbuat dari semen membuat posisi patung Dewa Siwa berada lebih tinggi dari kijing/makam sehingga tampak lebih jelas.

Patung Dewa Siwa yang berbadan kekar dengan dua pasang tangan dengan gestur yang berbeda. Sepasang tangan di depan yang dilipat memberi kesan tegas dan bijaksana. Sepasang tangan di belakang yang masing-masing memegang pinggang dan lutut, terlihat seperti posisi duduk Raja di singgasananya menambah kesan wibawa pada patung. Posisi wajah lurus menghadap ke depan mencerminkan seorang pria yang percaya diri, bertanggung jawab dan berpendirian teguh.

- Bidang-bidang dengan sudut lancip. Makam K.R.T. Sasmintadipura terdiri dari berbagai komponen bidang datar bersudut lancip yang memberi kesan kaku dan tegas, seperti: susunan batu andesit yang berbentuk persegi, kijing berbentuk trapesium, undakan dan kontur yang memiliki siku. Dalam nirmana, susunan bidang atau garis yang lurus, tajam, dan terkesan kaku merupakan karakteristik dari garis/bidang maskulin, berbeda dengan garis/bidang feminim yang memiliki karakteristik melengkung, bergelombang, dinamis yang memberi kesan anggun atau lembut.

- Hiasan berbentuk mahkota raja. Di atas kijing terdapat satu ragam hias khas Yogyakarta yang mengadopsi bentuk dasar dari kuncup bunga melati. Pada makam K.R.T. Sasmintadipura hiasan tersebut dibentuk menyerupai mahkota Raja yang mewakili gender dari mendiang yang merupakan seorang laki-laki. 

Fungsi Identitas

- Undakan: identitas agama Hindu

- Ukiran samping kijing penari bedhaya: K.R.T. Sasmintadipura sebagai empu tari Gaya Adat Kraton

- Nama dan tanggal pada nisan: identitas terkait mendiang beserta tanggal kelahiran dan wafat dengan sistem kalender Jawa.

KESIMPULAN

Artikel ini dibuat untuk menganalisis nilai estetika dan fungsionalitas dari desain kijing pada makam K.R.T Sasmintadipura yang berlokasi di kompleks Makam Seniman Giri Sapto. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan melakukan proses observasi, wawancara, serta kajian literatur.

Proses analisis dilakukan melalui tahap identifikasi dan deskripsi pada tanda visual yang terdiri dari kijing, papan nisan, dua buah bokor, maejan, relief, undakan, alas kijing, patung Bathara Guru, dan material kijing, serta tanda verbal yang meliputi nama, tanggal lahir, tanggal wafat, dan ka sekar yang terdapat pada papan nisan. Tahap selanjutnya adalah mencari makna denotasi dan konotasi menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes yang didasari oleh pendekatan sila-sila estetika yakni unsur masa depan, simbolisasi, dan unsur maskulinitas atau feminitas.

Berdasarkan nilai estetika, hasil analisis pada makam K.R.T Sasmintadipura menunjukkan bahwa ragam hias kijing tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi semata, namun juga mengandung makna dari sila estetika simbolis, maskulinitas, dan unsur masa depan untuk merepresentasikan nilai keagamaan, budaya, latar belakang serta identitas mendiang sebagai tokoh seniman tari di keraton Yogyakarta.

Ditinjau dari nilai fungsionalitas, penanda verbal pada kijing berupa papan nisan  yang berisi nama, tanggal lahir, tanggal wafat, dan ka sekar memiliki fungsi informasi dan identitas dalam perspektif desain komunikasi visual.

Artikel ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap desainer komunikasi visual dalam memandang peninggalan sejarah seperti makam sebagai media untuk menyampaikan identitas, komunikasi, dan media promosi dalam perspektif estetika desain. Peneliti selanjutnya dapat menekankan lebih lanjut bagaimana hasil analisis ini dapat diterapkan dalam desain modern. Dengan pengembangan lebih lanjut, tulisan ini dapat menjadi referensi dalam kajian desain yang menggabungkan nilai estetika dan fungsionalitas antara kijing dan ilmu DKV.

DAFTAR PUSTAKA

Afwadzi, Benny. (2018). Makam Seniman: Perkembangan Identitas Pemakaman Di Era Modern. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 3(1), 101-118. http://dx.doi.org/10.15575/jw.v3i1.2018 Diakses Pada 12 November 2024.

Akbar, Eldi Khairul., Tirtasari, Coleta Palupi., & Srijaya, I Wayan. (2021). Bahasa Rupa Pada Relief Erotis di Pura Meduwe Karang. Relief : Jurnal Arkeologi Papua dan Papua Barat, 13(2), 171-182.

http://dx.doi.org/10.24832/papua.v13i2.308 Diakses pada 16 November 2024.

Alam, Bambang Perkasa. (2020). Pilihan Material Bangunan Pada Candi. Human Narrative, 2(1), 33-38. https://doi.org/10.30998/hn.v2i1.579 Diakses Pada 16 November 2024.

Ambary, Hasan Muarif. (1996). Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Arsita, Gusti Ayu Made Lenni. (2020, 12 Juli). Menetapkan Gerakan ASPRA YOGA. https://kkn.undiksha.ac.id/index.php/blog/menetapkan-gerakan-aspra-yoga#:~:text=2.,duduk%20bersila%20dengan%20sikap%20sempurna Diakses pada 12 November 2024.

Ashari, Meishar. (2023). Studi Bentuk, Fungsi dan Makna Ornamen Makam Di Kompleks Makam Raja-Raja Bugis. Dewa Ruci : Jurnal Pengkajian dan Penciptaan, 8(3). https://doi.org/10.33153/dewaruci.v8i3.1135 Diakses pada 17 November 2024.

Astuti, Budi., & Soedarsono, R.M. (1996). K.R.T. Sasmintadipura Koreografer Tari Jawa Dalam Menghadapi Berbagai Tantangan Zaman: Sebuah biografi. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan. 

Cahyani, Okkie Pritha., Sriiwiyanto, Hery S.J.N., Pratama, Yogi Pasca., & Samudro, Bhimo Rizky. (2015). Batu Nisan: Pola Pengrajin dan Korelasinya Terhadap Budaya. (Studi Kasus kampung Gondang Kelurahan Manahan). Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan, 15(1). https://doi.org/10.20961/jiep.v15i1.9898 Diakses pada 15 November 2024.

Dinas Kebudayaan DIY. (2014, 7 Maret. K.R.T. Sasmintadipura,  https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/444-krt-sasmintadipura Diakses pada 12 November 2024.

Ifani, Aldita. (2022). Identifikasi Fragmen Nisan Kajang Batu Di Museum Daerah Deli Serdang. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. http://repository.uinsu.ac.id/19246/ Diakses pada 14 November 2024.

Jogjasiana. Rama Sas. https://www.jogjasiana.net/index.php/site/seniman/artist-8 Diakses pada 12 November 2024

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga. (1988). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Batara Guru. Galeri Nasional Indonesia. https://museum.kemdikbud.go.id/koleksi/profile/batara+guru_65682#:~:text=Pewayangan%2 Diakses pada 18 November 2024.

Murdiyanto, Eko. (2020). Metode Penelitian Kualitatif (Teori dan Aplikasi disertai Contoh Proposal). Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, UPN “Veteran” Yogyakarta Press.

Murdiyati, Y., & Siswanto, Joko. (2013). Tari Bedhaya Purnama Jati Dalam Perspektif Filsafat Manusia Relevansinya Dengan Pembentukan Karakter Bangsa. Tesis dan Disertasi. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/59407 Diakses pada 14 November 2024.

Pradana, Rizal Wahyu Bagas. (2019). Kajian Ikonografi Arsitektur Cungkup Makam Sunan Giri. Tesis Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta.

Rahman, Abdur., & Wildayati, Wildayati. (2019). Tipologi Makam dan Ornamen Nisan pada Kompleks Makam Sunan Ampel Surabaya. Suluk: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1(2). https://doi.org/10.15642/suluk.2019.1.2.105-112 Diakses Pada 16 November 2024.

Rohmaniah, Al Fiatur. (2021). Kajian Semiotika Roland Barthes. Al-Ittishol : Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, 2(2). https://doi.org/10.51339/ittishol.v2i2.308 Diakses pada 14 November 2024.

Sanyoto, Sadjiman Ebdi. (2009). Nirmana: Elemen-Elemen Seni dan Desain. Yogyakarta: Jalasutra.

Sudarsana, I Ketut., & Juliawan, I Nengah. (2020). Kedudukan Seni Dalam Siwa Nataraja Sebagai Inti Pendidikan Karakter (Perspektif Hindu Bali). Subasita: Jurnal Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali, 1(2). https://doi.org/10.55115/subasita.v1i2.871 Diakses pada 15 November 2024.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Yuzaili, N. (2018). Hiasan dan Kaligrafi Makam Shadrul Akabir ‘Abdullah di Kabupaten Aceh Utara. Melayu Arts and Performance Journal, 1(2), 230-245 https://www.neliti.com/publications/408351/hiasan-dan-kaligrafi-makam-shadrul-akabir-abdullah-di-kabupaten-aceh-utara Diakses pada 19 November 2024.

Zulkarnain, Alfiansyah., Setiana, Febrianti., Kristella, Felicia., & Violetta, Felicia. (2019). Analisa Unsur Estetika Desain Identitas Visual Karya Studio Desain Pentagram Berdasarkan Kacamata Teori Ekspresi dan Formalisme. Gestalt, 1(1), 1-12. http://dx.doi.org/10.33005/gestalt.v1i1.16 Diakses Pada 17 November 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun