"Untuk apa?" kutanyakan sekali lagi.
"Ke Patani. Aku mau hijrah." Cepat sekali rokoknya habis. Mengambil satu lagi, membakar, dan mengisap dalam-dalam.
"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanyaku lagi. "Sebentar lagi kau luluskan?"
"Negeri ini sudah sama seperti rumahku. Neraka. Sudah tak ada cinta dan keadilan. Kenapa manusia bisa setega itu, Din?"
Aku tak bisa menjawab.
Ia mencecak rokoknya. Langsung tidur. "Terima kasih, Din."
Besoknya, ia sudah pergi pagi-pagi benar. Aku tak mendengar kabarnya lagi.
***
HINGGA SUATU KALI, telepon genggamku berbunyi kencang dengan nomor yang tak kukenali. Si penelepon ternyata dari kantor imigrasi di Batam. Ia menanyakan apakah aku ada satu keluarga atau temannya Umar.
"Tidak," jawabku, "Aku tidak kenal siapa itu Umar. Mungkin salah orang, Pak."
"Umar alias Imron alias Abdulgani?" Si penelepon kembali meyakinkan.