AKU TAK MENGIRA, petang itu, kabar tentang dirinya hadir. Sudah sekira dua tahun aku tak mendengar kabarnya. Ibunya pun sudah tak mengetahui keberadaannya. "Sudah empat tahun, Din," ujar ibunya saat aku datang ke rumahnya, Lebaran tahun kemarin. "Kalau Udin tahu, kasih tahu Ibu."
Dua tahun lalu, ia tampak begitu kacau. Pakaiannya seperti tak pernah diganti selama berhari-hari. Jika kau berada dua meter darinya, kau pasti tau bau yang ditimbulkan dari pakaian dan juga tubuhnya.
Ia mondar-mandir di depan rumah indekosku. Tak tenang. Pemilik indekos bilang, ada laki-laki mencurigakan di depan rumah. Penasaran, aku pun mengintip dari jauh. Sepertinya aku kenal perawakannya, pikirku dalam hati. Ya, lelaki itu memang kawanku. Setelah memastikan, kubilang, dia kawanku. Agar pemilik indekos tidak terlalu curiga.
Pemilik indekos masih mengamati dari teras rumah. Tidak nyaman dengan lelaki itu. Kujelaskan lagi, dia adalah kawan masa kecilku di kampung. "Dulu sekali dia juga pernah ke sini," kataku meyakinkan pemilik indekos.
Aku membuka pintu gerbang yang ukurannya hanya setinggi dada lelaki dewasa. Lalu, kupanggil namanya. "Dul," sedikit teriak. Ia bergumam, tak jelas apa yang ia gumamkan. Matanya memandang ke sembarang arah.
Dari tempatku memanggil, aku sudah bisa mencium aroma bau badan yang tak pernah dibilas air berhari-hari. Campuran antara bau asam keringat, apek, bacin, dan juga aroma sengatan matahari. Betul, kulit mukanya semakin gelap. Aku sempat tidak yakin itu dia saat kulihat dari balik gerbang.
Ia memakai jaket kulit berwarna gelap. Rambutnya terpangkas pendek. Sayang, lantaran tak pernah terkena air, rambutnya jadi tak keruan. Celana jin yang dikenakan sudah tak berbentuk, kotoran kecokelatan ada di sana-sini. Sempat ia tak mendengar atau lebih tepatnya tak mengenaliku. Ia terus bergumam. Namun, ketika aku memanggil untuk ketiga kalinya, ia seperti baru keluar dari lamunan. Tersentak. "Din, boleh aku menginap di tempatmu?" tanyanya, suara kecil lirih. Hampir tak kedengaran.
***
DAN, jika sudah mengucapkan permintaan itu, aku tahu ia sedang dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Pertama kali ia meminta demikian ketika ia duduk di bangku kelas empat.
Aku dan dia masih sepantaran. Kami hanya berbeda enam bulan. Ia lebih tua. Kami selalu berada di sekolah yang sama hingga bangku SMP. Hanya ada beberapa sekolah di kampungku. Dan, karena otaknya begitu encer, saat SMA, ia diberi beasiswa untuk bersekolah di kota.
Situasinya hampir mirip-mirip seperti ini. Bedanya, permintaan terakhirnya itu, ia dalam kondisi yang sangat-sangat buruk sekali ketimbang saat pertama kali ia meminta menginap di tempatku. Meski sebenarnya, jika dipikir lagi, dua-duanya sama-sama buruk.