"Dalam Bisu Kehilanganmu: Mengapa Kau Menumpahkan Darah Kata-kataku?"
Kenapa, engkau hancurkan karakterku yang rapuh?
Seperti patahan kaca, hatiku terbelah menjadi serpihan.
Dulu, kita bersama-sama membangun cerita,
Tapi sekarang, kenapa kau bunuh semua tokoh itu?
Apakah kata-kataku terlalu tajam, menusuk seperti duri?
Ataukah karakterku mengganggu kedamaian hatimu sendiri?
Kau bunuh dialog yang kita ukir bersama,
Seolah-olah tak ada lagi panggung untuk kisah kita bercerita.
Apa alasannya, kukira kita saling menyempurnakan,
Tapi kenapa, kau pilih untuk merobek halaman-halaman itu?
Mungkin kau tak lagi suka dengan jalan ceritanya,
Atau karakterku menggugah perasaan yang terpendam.
Berkatalah, meski itu pahit, beritahukan alasannya,
Mengapa kau bunuh karakterku, hingga tak bersisa lagi.
Dalam keheningan, aku mencari jawaban,
Kenapa kau bunuh karakterku, hingga kisah kita mati.
Dalam bisu kehilanganmu, malam merangkak perlahan,
Kau bunuh karakterku, dalam gelap, tanpa terang.
Kata-kata yang pernah kita jalin, kini terluka dan pecah,
Seakan darah merayap, mengalir dalam bait-bait retak.
Kenapa, tanyaku pada bintang-bintang yang menyaksikan,
Mengapa kau menumpahkan darah kata-kataku, begitu dingin?
Bisik angin membawa rahasia, menyelinap di antara relung hati,
Puing-puing puisi terbentur, meratap dalam keheningan malam.
Kau biarkan rima hancur, metafora terluka,
Seperti matahari yang meredup, dalam cakrawala senja.
Dalam bisu kehilanganmu, kata-kataku tergantung rapuh,
Aku mencari jawaban, dalam lirik yang terluka dan hampa.
Kisah kita, kini tergeletak tanpa makna,
Dalam bisu kehilanganmu, aku bertanya-tanya, mengapa.
Dalam bisu kehilanganmu,
Aku terduduk sendiri,
Memeluk segenggam rindu,
Yang semakin layu dan perih.
Darah kata-kataku,
Kau tuangkan di atas kertas,
Kau lukis dengan tinta merah,
Menggambarkan luka yang dalam.
Kata-kata yang dulu,
Kau ucapkan dengan penuh cinta,
Kini menjadi pisau,
Yang menusuk hatiku.
Mengapa kau lakukan ini?
Mengapa kau menyakitiku?
Apakah kau tidak tahu,
Betapa aku mencintaimu?
Aku ingin kembali ke masa lalu,
Ketika kau masih ada di sini,
Ketika kata-katamu masih penuh cinta,
Dan tidak ada luka yang terluka.
Tapi itu hanya mimpi,
Yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Sekarang aku hanya bisa,
Memeluk segenggam rindu,
Dan menangis dalam bisu.
Pesan dari puisi ini:
Berawal dari refleksi didik saat ada seorang peserta didik yang mengalami pembullyan ingin keluar dari jerat pembullyan itu, hanya Dia yang memberi cahaya yang terang untuk membangkitkan.
menceritakan tentang kesedihan peserta didik yang kehilangan orang yang dicintai. Orang tersebut merasa sakit hati karena orang yang dicintainya telah mengkhianati cintanya. Ia merasa bahwa cintanya telah dicurangi dan dihancurkan.
Puisi ini menggunakan bahasa yang puitis dan menggambarkan emosi kesedihan yang mendalam. Kata-kata "darah kata-kata" digunakan untuk menggambarkan betapa sakitnya hati orang tersebut. Kata-kata "pisau" digunakan untuk menggambarkan betapa tajamnya rasa sakit yang dirasakan orang tersebut.
Puisi ini memiliki akhir yang tragis. Orang tersebut hanya bisa memeluk segenggam rindu dan menangis dalam bisu. Ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi dan ia hanya bisa menerima kenyataan pahit tersebut.
Ada secerca harapan bahwa saat keluar dari jerat pembunuhan karakter itu.. dia akan menjadi orang yang lebih dewasa yang mampu menyembuhkan luka batinnya.. memberikan cahaya yang lebih terang bagi duania ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H