Profesi sebagai freelancer seyogyanya dapat dimaksimalkan lagi agar dapat membantu menopang pertubuhan ekonomi nasional dalam sektor ekonomi kreatif.  Kebutuhan yang tinggi akan kemampuan pengelolaan sosial media, pengiklanan dan promosi oleh berbagai perusahaan ternyata tidak bisa diimbangi oleh angkatan  kerja Indonesia. Padahal berdasarkan survey yang di lakukan jobstreet Indonesia (laman penyedia kerja) ada 1.162 lebih perusahaan  berasal dari sektor media dan priklanan yang ingin mencari pekerja.
kegemaran  dalam bermain media sosial ternyata tidak membuat masyarakat Indonesia menjadi seorang yang terampil dalam pengelolaan media sosial. Peluang untuk mendapat lapangan pekerjaan, terkubur dalam bayang-bayang status Facebook, komentar beranda, dan pesan-pesan yang tidak sabar untuk dibalaskan.
Minimnya keterampilan yang dimiliki angkatan kerja Indonesia prihal digitalisasi seperti media sosial, salah satu faktor terbesarnya diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan yang diterima masyarakat. Dari total para pelaku ekonomi kreatif hanya 7% yang menempuh pendidikan tinggi (Diploma ke atas) selebihnya didominasi oleh pendidikan rendah (SMP ke bawah) 56% dan sisanya pendidikan menengah (SMA sederajat) 37 %. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan membuat Indonesia belum mampu untuk melahirkan tenaga- tenaga terampil. Berdasarkan Laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2019 rata-rata lama sekolah di Indonesia adalah 8 tahun, masih lebih rendah dibandingkan Korea Selatan (12,1 tahun) dan Malaysia (10,2 tahun) yang usiannya bahkan lebih muda dibandingkan Indonesia.
Korelasi rendahnya rata-rata lama sekolah di Indonesia dengan keterampilan sumber daya manusia di Indonesia , dapat dilihat dari laporan yang dilakukan oleh INSEAD tahun 2020 berjudul "The Global Talent Competitiveness index" dalam laporan tersebut INSEAD melakukan pemeringkatan daya saing Negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki Negara tersebut. Negara Indonesia berada pada peringkat 58 dari 88 Negara yang ada dalam laporan itu. Posisi Indonesia  masih jauh dibawah Malaysia (urutan 26), dan jauh dibawah Singapura yang berada di urutan 2.Betapa mirisnya mengetahui bahwa sebagai tempat belanja iklan terbesar di ASIA, ternyata Indonesia masih ketinggalan jauh dengan Negara ASIA lainnya pada segi pendidikan.
Dari 1 juta populasi, Indonesia hanya dapat menghasilkan 278 teknisi terampil dibidang teknologi digital. Dengan kata lain dari 167 juta masyarakat yg sering mengakses media sosial hanya 46.426 yang trampil dan berpeluang bekerja dalam bidang teknologi digital. Angka ini cenderung rendah dibanding dengan Negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Vietnam, masing-masing  bisa menghasilkan 1.834 dan 1.094 tenaga terampil digital per 1 juta populasi (Arif Budimanta, 2020, p. 39).
Selama ini masyarakat hanya terjebak pada status objek pasar dari media sosial. Kekeringan akan tenaga terampil tersebut pada akhirnya dapat menghambat perkembangan digital dan ekonomi kreatif di Indonesia.. Pelatihan dan pembekalan untuk masyarakat secara informal maupun pendidikan secara formal harus semakin digalakkan oleh Pemerintah. Agar melalui pendidikan tersebut, masyarakat sadar dan mampu untuk memenuhi  kebutuhan tenaga kerja yang tinggi dari pasar yang dibuat oleh media sosial. Selayaknya kegemaran masyarakat bermain media sosial menjadi bekal awal dalam mentransformasikan pengetahuan masyarakat mengenai peluang ekonomi dari media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H