Mohon tunggu...
agung bukit
agung bukit Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa semester awal yang ingin terjun kedunia penulisan

Lagi belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Jurnalis?

16 Mei 2022   12:12 Diperbarui: 16 Mei 2022   12:27 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Karakter Cerdas dan pemberani melekat pada imajinasi pembaca terhadap Mike. Tokoh utama pada Novel Bumi manusia . Mike merupakan tokoh fiksi yang sebenarnya merujuk kepada tokoh nyata, yaitu Tirto Adhi Soerjo. Seorang tokoh perintis pers bumiputra atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Bapak pers Nasional. 

Dalam novel karangan Pramoedya Ananta Toer ini, Mike digambarkan sebagai seorang priyayi yang berwawasan luas dan memiliki kecakapan dalam hal menulis, banyak majalah pada saat itu yang memuat tulisan-tulisannya, sehingga melalui tulisan itu dirinya dikenal banyak kalangan. Dari sepenggal kisah tersebut menjelaskan, bahwa Mike adalah sosok ideal dari seorang jurnalis.

Semakin berkualitas seorang jurnalis semakin berkualitas pula berita yang akan dibuat. Tentunya untuk mencapai hal itu bukan sebuah perkara yang mudah. 

Banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan formal adalah syarat mutlak untuk menjadi jurnalis profesional. Tapi ada juga yang tidak sepakat dengan pernyataan itu, karena berpendapat bahwa satu-satunya tempat untuk belajar menjadi jurnalis profesional ada di ruang redaksi. Namun kita tidak akan membahas perdebatan tersebut dalam tulisan ini.

Di Indonesia sendiri yang populasinya mencapai 270 juta jiwa, ada sekitar 200.000 orang yang bekerja menjadi jurnalis dan baru 17.000 yang tersertifikasi kompetensi Dewan Pers. Pekerjaan jurnalis bukan hal yang eksis di Indonesia. Selain karena dianggap kurang berduit, pekerjaan ini juga memiliki resiko besar. 

Perlakuan Intimidasi dan kekerasan fisik sering dirasakan seorang jurnalis saat sedang menjalankan tugasnya. Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mencatat bahwa pada tahun 2021 ada sekitar 43 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. 

Belum lagi kasus kriminalisasi jurnalis, sangat jamak ditemui di Indonesia. Membuat orang berpikir dua kali bahkan tiga kali untuk masuk ke dalam profesi ini.

Kata jurnalis sendiri diadopsi dari bahasa Inggris yaitu Journalist (Wartawan). Profesi yang pada umumnya berfungsi sebagai penyampai informasi ini, memiliki tanggung jawab sosial yang besar terhadap masyarakat. 

Jurnalis diberi kepercayaan untuk menjadi mata dan telinga masyarakat dalam menangkap sebuah informasi. Menurut sejarawan Mitchell Stephens, masyarakat membutuhkan informasi yang ada diluar pengalaman mereka. 

Pengetahuan masyarakat terhadap kejadian-kejadian diluar pengalaman mereka, memberikan masyarakat perasaan aman dan membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa seorang jurnalis memegang peranan yang penting untuk memberi rasa aman kepada masyarakat.

Lahirnya jurnalis diyakini pertama kali berawal pada masa kekaisaran Romawi kuno. Saat itu sang kaisar, Julius Caesar (100-44 SM), ingin pesan-pesan kekaisaran seperti, putusan, aturan hukum, dan lainnya dapat diketahui oleh masyarakat luas. Sehingga lahirlah para diurnarii yang berprofesi sebagai penulis informasi tersebut ke sejumlah acta diurna (Papan pengumuman kekaisaran). 

Seiring berjalannya waktu, kemudian informasi yang disampaikan oleh diurnarii makin beragam, tidak hanya semata-mata keputusan kekaisaran saja. 

Melalui acta diurna, masyarakat Romawi mengembangkan sistem pertanggungjawaban harian senat dan kehidupan sosial serta politik yang dapat diakses oleh masyarakat. Namun hal ini berakhir saat masyarakat menjadi lebih otoriter dan kejam. Penyampaian informasi secara lisan maupun tulisan pada masa itu benar-benar menghilang.

Seiring berjalannya waktu jurnalisme mengalami perubahan yang signifikan. Perkembangan teknologi membentuk berbagai macam model jurnalistik. Namun perkembangan tersebut pada hakikatnya tidak merubah peran dan fungsi dari jurnalisme itu sendiri. 

Masyarakat dari zaman ke zaman tetap membutuhkan informasi yang akan membuatnya merasa aman. Sehingga demi menyajikan rasa aman tersebut, seorang jurnalis harus memiliki kemampuan yang mumpuni dan tanggung jawab moral yang tinggi. Namun kasus kekerasan, intimidasi dan lainnya yang acap kali diterima, menjadi hambatan bagi jurnalis untuk mencapai kualitas terbaiknya.

Seperti halnya yang terjadi kepada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas. Sejak diterbitkannya majalah berjudul "IAIN Ambon Rawan pelecehan" oleh LPM Lintas. 

Berbagai musibah berturut-turut menimpa para pengurus LPM tersebut. Mulai dari tindakan intimidasi dan penganiayaan, pembekuan LPM, bahkan dilaporkan kepada Polisi atas dugaan pencemaran nama baik. 

Lingkungan yang seharusnya mengarahkan, mendidik, dan melindungi para mahasiswa kini berubah menjadi rumah hantu yang sangat menyeramkan. Isu yang seharusnya dapat diselesaikan melalui proses dialektika, nyatanya harus dimoderatori oleh pihak kepolisian. Ini menjadi salah satu contoh dari banyaknya kasus yang menimpa jurnalis di negeri ini.

Bagaimana Indonesia bisa melahirkan Mike Mike baru bila dalam prakteknya, mahasiswa sering dibenturkan dengan pihak kepolisian. Sebuah momok yang menakutkan bagi mahasiswa dan dapat menimbulkan rasa trauma yang sangat membekas. Bukan hanya kepada mahasiswa itu sendiri tapi juga orang tua mahasiswa tersebut. 

Jika sudah begitu, menjadi Mike atau melampaui seorang Mike adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Karakter Mike hanya hidup dalam novel "Bumi Manusia" karya pak Pram dan imajinasi para pembacanya saja.

Perlakuan intimidasi, kekerasan, bahkan Intervensi oleh otoritas terhadap produk jurnalistik adalah tindakan yang melecehkan dan mengikari peranan dan fungsi dari jurnalisme. 

Masyarakat Perlu menyepakati bahwa jurnalis ada untuk melayani mereka yang diperintah, bukan untuk mereka yang diberi legitimasi untuk memerintah. Untuk mencapai kesepahaman tersebut, maka diperlukan keseragaman pengetahuan mengenai peran dan fungsi jurnalisme. 

Sosialisasi, pelatihan dan pendidikan jurnalisme secara gencar harus diberikan kepada masyarakat. Agar tindakan yang memalukan dan mencoreng demokrasi tersebut tidak akan terjadi lagi kedepannya.

Perjuangan reformasi selayaknya harus kita hayati bersama. Dengan lahirnya Undang-undang Pers yang mengatur kehidupan jurnalis patut untuk di apresiasi, bukan malah diragukan keberadaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun