Gambar tersebut memperlihatkan seorang anak laki-laki dari Nagasaki, yang sedang menggendong adiknya yang teleh meninggal akibat bom atom. Ia berdiri dengan tegar, meskipun kesedihan mendalam terlihat jelas dari cara ia menggigit bibir bawahnya, seolah menahan tangis yang tak terucapkan. Ekspresi wajahnya yang dingin namun penuh kepedihan mencerminkan beban yang tak tertanggungkan, baik secara fisik maupun emosional. Gambar tersebut menjadi simbol nyata dari kehancuran yang dibawa oleh senjata nuklir, di mana sebuah ledakan tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga menghancurkan jiwa-jiwa yang tak bersalah.Â
Kita harus melihat kembali gambar tersebut sebagai pengingat akan kengerian perang nuklir, terutama ketika dunia saat ini kembali menghadapi ancaman yang serupa. Penderitaan yang ditunjukkan oleh anak tersebut bukan hanya miliknya saja, tetapi merupakan cerminan dari penderitaan ribuan orang lainnya yang juga kehilangan segalanya. Oleh karena itu, kita harus belajar dari sejarah tersebut dan berkomitmen untuk mencegah tragedi semacam itu terjadi lagi. Menolak perang dan memelihara perdamaian adalah satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran kemanusiaan.
Sebagai pengingat akan dahsyatnya kehancuran yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir, kita dapat mengambil pelajaran dari kata-kata penyintas bom atom Hiroshima, Setsuko Thurlow: "Humanity and nuclear weapons cannot coexist. Our very survival depends on their total abolition." Kutipan ini menegaskan bahwa keberadaan senjata nuklir dan keberlanjutan umat manusia tidak dapat berjalan bersamaan. Senjata nuklir, dengan daya hancurnya yang luar biasa, mengancam tidak hanya negara atau wilayah tertentu, tetapi juga seluruh umat manusia. Setiap detik senjata nuklir tetap ada, kita hidup dalam bayang-bayang kehancuran total.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H