Tahun ini, 23 tahun sudah saya merantau di metropolitan. Jalan hidup mempertemukan saya, dengan belahan jiwa dari kota penyangga. Kemudian menikah beranak pinak, membuat saya semakin berat langkah dan pindah.
Dari sekian panjang perjalanan, membukakan saya pada banyak pertemanan. Saya mengenal teman dengan berbagai karakter pembawaan, baik yang kawan dekat atau sekadarnya saja. Pun saya  berkesempatan bergaul, dengan pesohor atau orang biasa---seperti diri sendiri.
Dari sekian pertemanan, saya menyimpulkan satu hal. Bahwa setiap orang, sesungguhnya sama. Punya kesempatan sama, untuk memulia atau menghina.
Tak peduli latar belakang garis keturunan, tak peduli profesi dan kelas strata sosial. Bahwa sikap tanggung jawab atau pengecut, sangat bisa ditunjukan siapapun.
Ada yang pendidikannya tinggi, karirnya bergengsi, tetapi sikap perilaku sangat tidak mewakili. Tetapi saya kenal banyak teman, yang lulusan SMA atau Sarjana S1. Â Sangat amanah saat dipercaya, sangat bertanggung jawab pada tugasnya.
Lelaki Sejati Itu Bukan Janjinya Tapi Komitmennya
Lelaki Itu bukan janjinya tapi komitmennya, bukan kata manisnya tapi kepastiannya.
Bukan bertanya tapi bertanggung jawabnya, bukan gayanya tapi kepribadiaannya.
Bukan gelarnya tapi ilmunya , bukan usianya tapi kedewasaannya.
(akun Mukjizat Sholat dan Doa)
Â
Sewaktu merantau di Kota pahlawan, kami anak kost kerap nongkrong malam hari. Melepas penat seharian bekerja, menjadi cara menghibur diri. Satu teman pintar bergitar, bergantian kami penyanyi amatir bergiliran.
Saya junior, lumayan bisa menikmati suasana. Sesekali ikut nyanyi, atau ikut menyimak obrolan. Malam itu, ada yang membuat benak ini terhenyak.
Kawan senior, Â lulusan universitas terkenal dan sudah berkeluarga. Mengaku tidak bekerja, setiap hari mengantar jemput istrinya ngantor. Otak saya seperti tidak terima, tapi tidak berani menyampaikannya. Apalagi melihat raut tak bersalah itu, membuat saya semakin gregetan.