Kompasianer's, ini saya yang merasakan sendiri, atau orang lain juga, ya.?
Bahwa anak yang sudah besar (baik laki maupun perempuan), cenderung lebih dekat ke ibu daripada ayah. Semasa remaja hingga dewasa, saya bersikap demikian juga adanya.
Menurut saya ada bagian peran ibu, tidak bisa diwakilkan apalagi digantikan ayah. Demikian juga sebaliknya, ada peran hanya ayah merasakan. Peran yang menyangkut marwah, suka tidak suka harus dijalankan.
Misalnya peran menafkahi keluarga, mutlak menjadi tugas ayah. Di bagian inilah (menafkahi) harga diri ayah berada, itu harus dijaga meski nyawa taruhan. Kecuali kondisi force majour yang sangat, ayah terpaksa tidak bisa bekerja.
Bahwa apa yang dipikiran ayah, tidak bakalan bisa diwakilkan ke istri. Misalnya ayah gelisah, uang sekolah dan belanja istri belum terpenuhi. Pusingnya, puyengnya, hanya ayah merasakan. Kondisi kepepet inilah, menodorong ayah berusaha lebih keras.
Sangat mungkin, ada bagian ibu yang tidak bisa dirasakan ayah. Misalnya menampung keluh kesah anak, menyiasati uang agar cukup sebulan. Kemungkinan karena hal ini, kedekatan anak ke ibu beda dengan ke ayah.
Saya juga tidak perlu diambil pusing, saya tetap bisa menunjukkan rasa sayang ke anak. Meski tetap memendam penasaran, hikmah apa tersembunyi dibalik ini semua.
-----
Saya terkesan pada sikap ayah, bahkan sampai sepeninggalnya. Ayah adalah sosok pendiam, tetapi kami tidak juga jauh meski tidak sangat dekat. Banyak sikap ke-ayahan, saya dapati dari pria sederhana ini.
Sikap tanggung jawabnya pada keluarga, saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Sikap mengalah pada istri dan anak, sikap welas asih pada istri, tidaklah saya ragukan.