Kompasianer, suasana tahun baru masih belum hilang. Mungkin rasa capeknya, euforianya, kemeriahannya, belum sepenuhnya luntur di benak.
So, bagaimana cara kalian, melewati malam pergantian tahun?
Saya pribadi, semakin berumur rasa antusias itu perlahan menurun. Kalau dulu di rentang umur 30 -- 40-an, saya, istri dan anak --di bawah 10 tahun--- suka keliling kota. Berhenti di beberapa titik keramaian, melihat kembang api dan atau larut dalam suasana.
Kini sudah berbeda, cenderung tidak pengin pergi kemana-mana. Mengingat situasi di pusat keramaian, pastilah crowded dan tak ada ruang lega. Untuk usia setengah abad---seperti saya-, tak lagi antusias ikut berdesak- desakan.
Kalaupun tidak tinggal di rumah, paling kami pergi ke rumah ibu mertua. Kumpul bareng kakak Ipar, yang menunggui rumah setelah dua orangtua tiada.
Kemudian anak mbarep yang sudah dewasa, memilih berkegiatan dengan teman sepantaran. Patungan membeli bahan, untuk bakar-bakaran mengolah sate ayam.
Tetapi hanya dengan begitu saja, di hati ini mengalir tenang dan bahagia. Padahal kami cuma ngobrol, sembari ngariung di karpet. Tidak dengan sengaja masak-masak, cukup makan yang ada di rumah. Kalaupun membeli, palingan pecel lele warung tenda di depan rumah.
Yes, sebegitu saja. Tak mau neko-neko, tapi tenang dan membuat bahagia. Sungguh, sumber kebahagiaan pernikahan itu sangat unik.
-----
Saya sama sekali tidak menyangkal, bahwa punya rumah, mobil atau barang mewah bisa membahagiakan. Saya tidak pernah menolak ide, makan di resto hotel bintang lima memantik kebahagiaan.Â