Sebagai ragil saya punya moment, yang tidak dimiliki kakak-kakak. Saya anak yang menemani orangtua, ketika kakak tertua sudah menikah. Sementara kakak- kakak lain merantau, menyebar di beberapa kota besar.
Saya yang --Â kala itu-- masih kelas dua SMA, menemani keseharian ibu dan bapak. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, kecuali pada jam- jam sekolah. Sebagai satu satunya anak yang tinggal, maka pekerjaan rumah apapun dilakukan.
Bapak dan ibu, sebenarnya pasangan dengan banyak kekurangan. Sebagai anak, kadang ikut gregetan kalau keduanya sedang ada perseteruan. Tapi apa bisa diperbuat, posisi saya anak -- saat itu -- belum dewasa.
Ngeselinnya ibu ke bapak, atau nyebelinnya bapak ke ibu saya hapali. Sewotnya ibu yang belum selesai bicara ditimpali, saya cukup tahu. Atau anyelnya bapak, menanggapi kemauan ibu yang dibarengi kengototannya.
Bukan hal asing bagi saya, menemui cek cok ala bapak dan ibu. Tetapi kalau dibuat prosentase, lumayan jarang bapak ibu berantem. Karena bapak dasarnya pendiam, sangat mengimbangi istri yang meledak-ledak.
Tetapi ada yang membuat salut, yaitu bapak tidak enggan minta maaf kalau salah. Pun sebaliknya, ibu juga berlaku demikian. Semakin panjang kebersamaan, membuat mereka mengenali A sampai Z masing-masing. Baik buruknya, nyenengin atau nyebelinya. Termasuk aib-aibnya.
Demikian berlangsung, sampai saya lulus SMA dan merantau, layaknya anak desa pada umumnya.
------
"jenenge menungso, nek golek sing sempurna yo gak enek"Â ujar ibu suatu saat
(namanya manusia, kalau mau yang sempurna ya tidak ada)
Saya sangat percaya, bahwa setiap orang telah tertulis takdirnya di lauhul mahfuds. Beberapa hal tercatat diantaranya, jodoh, rejeki, amal, ajal. Dan saya sangat meyakini, suratan takdir adalah yang terbaik versi Sang Khaliq.
Sangat mungkin diantara kita, ada yang diuji kesabaran bersua jodoh, ada yang diuji kesabaran menanti buah hati. Sementara yang lain diuji soal ekonomi, ada yang diuji penyakit, dan seterusnya.
Memang tak enak dengan ujian, tetapi itulah yang akan menumbuhkan kekuatan. Kelak selepas ujian itu, niscaya akan banyak hiikmah bisa dipetik.
Terkhusus yang sudah dipertemukan jodoh, ujian tidak seketika selesai. Setelah menikah, terbukalah semua belang bolenteng pasangan. Aib-aibnya tak lagi bisa ditutupi, segala sifat asli tampak dengan sendirinya.
Justru di posisi demikian, suami istri dibukakan ruang pembelajaran. Belajar menerima satu sama lain, sembari berusaha menjadi lebih baik. Berdamai dengan keadaan, belajar mencintai pasangan apapun keadaannya.
Toh, kalaupun menikah dengan orang lain -- bukan pasangan yang sudah dinikahi. Saya berani menjamin, orang lain juga punya kekurangan dalam versi lain. Masalah atau ujian juga tetap ada, untuk dihadapi untuk diselesaikan.
So, kenapa tidak dirawat yang sudah ada di genggaman. Yaitu dengan mencintai takdir jodoh, agar langgeng sampai maut memisahkan-- aamiin.
Agar Langgeng, Cintailah Takdir Jodohmu
"asal ora wayuh, berarti sik aman" ujar mbah wedok
(asal tidak beristri lebih dari satu, masuk kategori aman)
Dulu saya diuji panjang sabar, saat menemukan tambatan hati. Untuk mengisi hari- hari galau, saya membaca banyak buku tentang pernikahan. Bahwa ada yang tidak disuka perempuan, persis seperti yang dinasehatkan mbah wedok --Â mbah dari garis ibu---pada saya.
Perempuan tidak suka diduakan, dipersandingkan apalagi dipersaingkan. Poligami tidak dilarang agama, tetapi ada syarat berat yang menyertai. Yang kalau orang cetek ilmu agama -- macam saya--, niscaya tidak sanggup menjalani.
Berkaca keseharian bapak dan ibu, cukuplah saya menemukan guru ideal soal pernikahan. Ibu dan bapak dengan segala kekurangan, mereka saling menghargai tak menyakiti. Sebesar apapun perseteruan, bukan alasan untuk mencerai beraikan.
Api amarah musti lekas dipadamkan, dengan mengaku salah dan minta maaf. Ego bergejolak musti diturunkan, mengingat kebersamaan yang harus diteruskan. Bahwa keputusan mereka, akan berdampak pada anak-anaknya.
Toh soal setia, ibu telah mengujinya pada bapak. Empat puluh enam tahun bersama, tidak ada nama perempuan lain di hati bapak. Maka tak heran sesedih itu ibu, sepeninggal suami yang sangat dikasihi.
Cinta yang langgeng, saya rasai sampai sekarang. Nyaris duapuluh tahun bapak meninggal, ibu tak bosan mengisahkan ulang suaminya.
"Pakmu kuwi, nek ora didisiki ra tau ngajak padu,"Â celetuk ibu
(Bapakmu, kalau tidak didului tidak pernah memancing ribut)
----
Kompasianer, setiap kita sangat bisa memetik hikmah dari ujian kehidupan. Benar, bahwa ujianlah yang membuat kedewasaan bertumbuh.
Hikmah dari panjang sabar bersua belahan jiwa, saya baru rasakan sekarang. Ketika sedang marah dan istri sedih, saya ingat perjuangan berat mendapatkannya. Seketika ego ini luluh, dan saya buru-buru minta maaf pada istri. Seperti pernah saya lihat, yang dilakukan bapak pada ibu dulu.
Saya sangat merasakan, mujarab-nya kata 'maaf'. Hati rasanya lega dan plong, ketidak enakan -- perasaan -- seketika luntur. Setelah kata maaf terucap, rasa canggung -- suami istri-- berangsur pergi. Kemudian waktu ke waktu, seolah kembali berjalan seperti biasanya.
Karena takdir jodoh sudah tertulis di lauhul mahfuds, maka tugas setiap kita adalah merawatnya. Mari sepenuhnya mencintai, istri atau suami kita masing-masing. Sebisa kita mempertahankannya, sebisa kita mencintai takdir jodoh kita.Â
Dan biarkan hanya maut, yang akan memisahkan. Agar langgeng, cintai takdir jodohmu- semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI