Memang tak enak dengan ujian, tetapi itulah yang akan menumbuhkan kekuatan. Kelak selepas ujian itu, niscaya akan banyak hiikmah bisa dipetik.
Terkhusus yang sudah dipertemukan jodoh, ujian tidak seketika selesai. Setelah menikah, terbukalah semua belang bolenteng pasangan. Aib-aibnya tak lagi bisa ditutupi, segala sifat asli tampak dengan sendirinya.
Justru di posisi demikian, suami istri dibukakan ruang pembelajaran. Belajar menerima satu sama lain, sembari berusaha menjadi lebih baik. Berdamai dengan keadaan, belajar mencintai pasangan apapun keadaannya.
Toh, kalaupun menikah dengan orang lain -- bukan pasangan yang sudah dinikahi. Saya berani menjamin, orang lain juga punya kekurangan dalam versi lain. Masalah atau ujian juga tetap ada, untuk dihadapi untuk diselesaikan.
So, kenapa tidak dirawat yang sudah ada di genggaman. Yaitu dengan mencintai takdir jodoh, agar langgeng sampai maut memisahkan-- aamiin.
Agar Langgeng, Cintailah Takdir Jodohmu
"asal ora wayuh, berarti sik aman" ujar mbah wedok
(asal tidak beristri lebih dari satu, masuk kategori aman)
Dulu saya diuji panjang sabar, saat menemukan tambatan hati. Untuk mengisi hari- hari galau, saya membaca banyak buku tentang pernikahan. Bahwa ada yang tidak disuka perempuan, persis seperti yang dinasehatkan mbah wedok --Â mbah dari garis ibu---pada saya.
Perempuan tidak suka diduakan, dipersandingkan apalagi dipersaingkan. Poligami tidak dilarang agama, tetapi ada syarat berat yang menyertai. Yang kalau orang cetek ilmu agama -- macam saya--, niscaya tidak sanggup menjalani.
Berkaca keseharian bapak dan ibu, cukuplah saya menemukan guru ideal soal pernikahan. Ibu dan bapak dengan segala kekurangan, mereka saling menghargai tak menyakiti. Sebesar apapun perseteruan, bukan alasan untuk mencerai beraikan.
Api amarah musti lekas dipadamkan, dengan mengaku salah dan minta maaf. Ego bergejolak musti diturunkan, mengingat kebersamaan yang harus diteruskan. Bahwa keputusan mereka, akan berdampak pada anak-anaknya.