Toh soal setia, ibu telah mengujinya pada bapak. Empat puluh enam tahun bersama, tidak ada nama perempuan lain di hati bapak. Maka tak heran sesedih itu ibu, sepeninggal suami yang sangat dikasihi.
Cinta yang langgeng, saya rasai sampai sekarang. Nyaris duapuluh tahun bapak meninggal, ibu tak bosan mengisahkan ulang suaminya.
"Pakmu kuwi, nek ora didisiki ra tau ngajak padu,"Â celetuk ibu
(Bapakmu, kalau tidak didului tidak pernah memancing ribut)
----
Kompasianer, setiap kita sangat bisa memetik hikmah dari ujian kehidupan. Benar, bahwa ujianlah yang membuat kedewasaan bertumbuh.
Hikmah dari panjang sabar bersua belahan jiwa, saya baru rasakan sekarang. Ketika sedang marah dan istri sedih, saya ingat perjuangan berat mendapatkannya. Seketika ego ini luluh, dan saya buru-buru minta maaf pada istri. Seperti pernah saya lihat, yang dilakukan bapak pada ibu dulu.
Saya sangat merasakan, mujarab-nya kata 'maaf'. Hati rasanya lega dan plong, ketidak enakan -- perasaan -- seketika luntur. Setelah kata maaf terucap, rasa canggung -- suami istri-- berangsur pergi. Kemudian waktu ke waktu, seolah kembali berjalan seperti biasanya.
Karena takdir jodoh sudah tertulis di lauhul mahfuds, maka tugas setiap kita adalah merawatnya. Mari sepenuhnya mencintai, istri atau suami kita masing-masing. Sebisa kita mempertahankannya, sebisa kita mencintai takdir jodoh kita.Â
Dan biarkan hanya maut, yang akan memisahkan. Agar langgeng, cintai takdir jodohmu- semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI