Sepagian ini saya dibuat merenung, setelah menyimak sebuah konten video yang seliweran di tiktok. Menampilkan budayawan Emha Ainun Nadjib, dengan pernyataannya yang menggelitik sekaligus mendalam.
Bahwa kehidupan dirancang dengan luar biasa, semua yang terjadi di dunia ada takarannya. Tidak ujug-ujug begitu saja terjadi, semua terencana dengan sedetil-detilnya. Kita musti meyakini, bahwa tiada sia-sia yang dipersembahkan kehidupan.
Manusia dengan ketak-kuasaannya, dijamin tiada mampu menyangkal takdir. Sepanjang apapun kesenangan, jatahnya kan selesai dan diganti sedih. Pun nelangsa yang terjadi secara beruntutan, pasti ada keberuntungan menyelamatkan.
Ayah dengan keperkasaan dimiliki, bisanya sebatas mengerahkan usaha keras dimiliki. Memperjuangkan istri dan anak-anak, mempertanggungjawabkannya kelak di hari perhitungan. Kalau sengsara sedang terjadi, ayah pasrahlah mengakui kelemahan.
Tetapi bahwa tak putus asanya menyerahnya ayah, kan menjadi catatan kehidupan. Kelak dipersaksikan istri dan anak-anaknya, mereka bangga padamu ayah.
---
Saya seperti ayah pada umumnya, mengalami masa pasang dan surut. Pernah dibuat pusing, ketika banyak kebutuhan dipenuhi saat dompet menipis. Saya dan istri membahu, merasakan masa sempit dan lapang.
Kalau ada yang bilang "kelapangan cenderung melenakan", saya sangat menyepakati. Ketika sedang banyak uang, muncul sikap menggampangkan suatu masalah. Mudah menyepelekan gagasan orang lain, merasa diri paling benar dan banyak kontribusi.
Bahwa kesempitan, kan memberi ruang lebar untuk belajar berdamai. Saya sangat setuju, karena juga pernah mengalami. Justru pada masa-masa nelangsa, saya disadarkan akan banyak kesalahan. Pada orang-orang di masa lalu, yang bahkan tidak saya pedulikan perasaannya.
Masa-masa paceklik, mengantar saya pada kemenyesalan demi kemenyesalan. Ingat perkataan yang menyinggung saudara sendiri, pernah mengecilkan teman sekantor. Pernah meremehkan tetangga, yang usulannya sangat biasa.