Kepada anaknya ayah selalu mengalah, dari hal kecil sampai besar. Misalnya snack dan nasi kotak jatah rapat, dibawa pulang untuk saya. Sampai hal serius, seperti membeli motor untuk mbarepnya.
Taki bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa ayah punya kekurangan. Ketika saya lulus SMA, kami pernah berselisih pendapat. Yang di kemudian hari, saya menyadari sayalah yang salah. Lepas dari kesalahan kecil itu, tertutupi oleh banyak kebaikannya.
Heroik-nya ayah berjuang untuk kami anak-anaknya, membekaskan selaksa kenangan. Saya sampai ingat secara detil, situasi saat ayah mengalah.
Bagi saya anaknya, ayah telah menempuh jalan keayahan dengan baik. Dalam keadaan sesempit apapun, beliau tak pernah lepas tanggung jawab. Siap sedia di garda terdepan, ketika anak istrinya dalam kesulitan.
Meski tidak semua keinginan terpenuhi, sekalipun kami tidak pernah ditelantarkan. Meski hidup tak bergelimang bendawi, kami tidak pernah merasakan kelaparan. Ayah -- dan ibu pastinya--, adalah salah satu sosok saya teladani.
Nyaris dua puluh tahun sepeninggalnya, saya masih merasakan hangatnya kasih sayang ayah. Baik melalui sikap maupun ucap, sampai gesture-nyapun saya hapal. Lelaki sederhana itu, namanya terhunjam di kalbu.
Ya, setiap lelaki, bisa tersematkan predikat ayah. Tetapi tidak semua, lelaki menjalankan peran keayahan dengan baik. Faktanya, tidak sedikit anak istri terlantar.
Padahal, setiap ayah terbukakan jalan. Menempuh mulia, melalui jalan keayahan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H