Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beda Menikah Beda Membujang

11 November 2024   17:03 Diperbarui: 11 November 2024   20:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu merantau di kota Pahlawan, saya punya teman yang otaknya encer. Di Kampusnya, dia cukup terkenal dan berprestasi. Sebagai mahasiswa rajin, teman ini aktif berkegiatan. Namun di satu sisi, keras kepalanya-- sebagai anak pintar-- kadang tampak saat ngobrol.

Meski tidak pernah --sengaja-- menyombongkan diri, saya bisa merasakan kesan superior itu. Setiap beradu pendapat, merasa dirinya yang paling benar. Tak jarang menuntut orang lain setuju, maunya dia sendiri yang didengarkan.

Uniknya, kepintarannya tak berbanding lurus dengan urusan asmara. Sikap kakunya, membuat perempuan enggan berkawan. Bahan obrolan cenderung serius, membuatnya tak luwes berinteraksi dengan lawan jenis.

Hingga satu persatu dari kami menikah, teman ini tak juga mengikuti. Ada saja alasan, yang memaksa lawan bicara menyetujui keputusannya. Sampai akhirnya saya pindah Jakarta, status bujangnya terpertahankan.

Meski tak sering ketemu, sesekali kami masih berkomunikasi. Masanya -- sedang tren --- kirim pesan SMS , saya merasakan tidak ada yang tidak berubah.

Pemilihan kata dan kalimat itu, mewakili karakternya yang pengin menang sendiri. Dia masih menganggap, saya tetap seperti saat di Surabaya. Padahal saya jauh berubah, setelah merasakan asam garam kehidupan.

Sejak menikah, anak dan istri menjadi prioritas saya. Apapun yang saya kerjakan, hasilnya untuk mereka yang di rumah. Maka saya dituntut hati-hati, mengambil keputusan sebelum bertindak.

Sementara teman yang bujang, egonya sedemikian tak terusik dan kukuhnya. Kalau enggan berdebat, saya menyudahi obrolan dengan tidak membalas pesannya.

Ya, beda menikah beda membujang.

----

sumber gambar dokpri
sumber gambar dokpri

Sekitar lima tahun sejak kepindahan, sesekali saya ke Surabaya menyelasaikan beberapa urusan. Kami janjian ketemu, berbagi kabar berita dan cerita. Meski hanya ketemu dua tiga teman saja, cukuplah menyambung tali pertemanan.

Pada teman sudah menikah, saya mendapati sikap serupa dengan diri sendiri. Tidak begitu menggebu atau berapi-api, menyikapi cerita tersampaikan. Cenderung lebih kalem, menyimak tanpa lekas berekasi dan menanggapi.

Saya mengamini hal ini, bahwa menikah membawa perubahan pada seseorang. Baik dari sisi mental maupun psikologis, akan terbentuk sedemikian rupa.  

Saya kalau ada pekerjaan, kemudian disuguhi makanan enak -- entah nasi kotak atau snack. Langsung terbayang wajah anak istri, apalagi saat kami sedang berhemat. Tak tega makan enak, sementara anak istri tidak. Tak jarang jatah itu dimakan sedikit, selebihnya dibawa pulang.

Misalnya lagi ketika sakit, semangat saya untuk sembuh berlipat- lipat. Melihat istri merawat saya, dan anak-anak musti tetap berangkat sekolah. Mereka masih membutuh sosok ayah, saya bertanggung jawab bekerja menafkahi.

Pada teman -- Surabaya-- yang bujang, saya merasakan kengototannya. Sehingga kami circel lamanya, makin paham alasan -- teman ini -- belum menikah. Ditambah latar keluarga berkecukupan, secara ekonomi tidak ikut menanggung.

Beda Menikah Beda Membujang

sumber gambar; dokpri
sumber gambar; dokpri

"Kalau ada teman atau sodara cewek, kenalin ya."

Sebuah pesan saya terima, saat perjalanan menuju daerah jakarta Timur. Bahasa kaku tanpa basa basi itu, dengan mudah saya kenali. Pun tanpa melihat nomornya, saya bisa menebak siapa pengirimnya.

Teman pintar, mulai didesak orangtua untuk menikah. Umur yang menuju tigapuluh lima tahun, diwanti-wanti menyudahi masa lajang. Saya yang tidak punya calon untuk dicomblangi, memilih mendiamkan pesan itu.

Benar kata pepatah, "Jodoh di tangan Tuhan." Tapi tetap saja, musti ada inisiatif dan usaha dari manusia-nya. Dengan memantasakan diri, agar jodohnya datang didekatkan. Berupaya meluaskan pergaulan, membuka masukan sekaligus koreksi diri.

Ibarat rejeki berupa makanan, musti dibarengi inisiatif mengambil piring dan sendok. Kemudian menuangkan nasi, lauk pauk, sayur mayur, di atas piring. Selanjutnya disantap dengan hati-hati, agar tidak keselek dan berkah mengenyangkan.

Jujurly, sebenarnya teman tidak buruk rupa. Penampilan fisiknya oke punya, berat dan tinggi badannya proporsional. Dari keluarga menengah tinggal di perumahan, ayah pensiunan dan ibunya ibu rumah tangga.

Lagi-lagi, sikapnya saja yang kurang dijaga. Mungkin belum pernah mengalami, benturan kehidupan yang membuat berubah. Sehingga ego-nya mengemuka, belum ada kejadian yang mengantarkan introspeksi diri.

Pernah ada teman tinggal di kampung yang sama, ikut test fisik di sebuah instansi pemerintah.  Alih-alih didukung, malah diremehkan dan dijatuhkan mental.  Menurutnya -- teman yg ikut tes--, badannya  tidak tegap kurang simetris. Bahkan kalau berdiri, tulang punggungnya tampak melengkung.

Pernah kejadian lain terjadi, saat tetangga seumuran mencoba peruntungan melamar di perusahaan asuransi. Seketika komentar sinis tercetuskan, dianggap tidak berbakat meyakinkan orang. Bicaranya kurang percaya diri, kerap gagap saat di hadapan orang lain.

Ya, beda menikah beda membujang.

----

sumber gambar dokpri
sumber gambar dokpri

Ketika mbarep saya umur tiga tahun, terbetik kabar bahwa teman pintar hendak menikah. Saya tidak kenal mempelai perempuan, infonya pekerja swasta di Sidoarjo---syukur alhamdulillah. Karena beda kota dan jaraknya jauh, saya mengirim doa dan mengucapkan selamat via SMS.

Kami berteman di medsos, dibagikan foto-foto pernikahan di berandanya. Memasuki bulan ketiga, kabar menyenangkan dituliskan sebagai status. Bahwa sang istri hamil muda, babak baru segera dimulai.

Saat ke Surabaya, dua kali kami berkesempatan bersua. Guratan di wajah, jelas menandakan telah berumur. Tetapi lelaki pintar di hadapan saya, menjadi sosok yang jauh berbeda.

Tidak lagi menyelak pembicaraan orang, tidak mematahkan pendapat teman. Bicaranya tak semenggebu dulu, tapi kepintarannya tak juga luntur. Mulai mengelola kalimat hendak diucapkan, terkesan lebih berhati-hati.

Di hati kecil ini berbisik, menikah seharusnya memproses seseorang menjadi lebih bijak. Kalau ada yang menikah, tetapi tidak mengubah menjadi lebih baik. Bisa jadi, ada yang salah dengan prosesnya.

Bahwa kehidupan pernikahan, dengan badai gejolak yang luar biasa. Niscaya membentuk suami istri, memiliki hubungan lebih solid. Berkomitmen, bertekad melalui badai bedua.

Karena beda menikah beda membujang. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun