Sewaktu merantau di kota Pahlawan, saya punya teman yang otaknya encer. Di Kampusnya, dia cukup terkenal dan berprestasi. Sebagai mahasiswa rajin, teman ini aktif berkegiatan. Namun di satu sisi, keras kepalanya--Â sebagai anak pintar-- kadang tampak saat ngobrol.
Meski tidak pernah --sengaja-- menyombongkan diri, saya bisa merasakan kesan superior itu. Setiap beradu pendapat, merasa dirinya yang paling benar. Tak jarang menuntut orang lain setuju, maunya dia sendiri yang didengarkan.
Uniknya, kepintarannya tak berbanding lurus dengan urusan asmara. Sikap kakunya, membuat perempuan enggan berkawan. Bahan obrolan cenderung serius, membuatnya tak luwes berinteraksi dengan lawan jenis.
Hingga satu persatu dari kami menikah, teman ini tak juga mengikuti. Ada saja alasan, yang memaksa lawan bicara menyetujui keputusannya. Sampai akhirnya saya pindah Jakarta, status bujangnya terpertahankan.
Meski tak sering ketemu, sesekali kami masih berkomunikasi. Masanya -- sedang tren --- kirim pesan SMS , saya merasakan tidak ada yang tidak berubah.
Pemilihan kata dan kalimat itu, mewakili karakternya yang pengin menang sendiri. Dia masih menganggap, saya tetap seperti saat di Surabaya. Padahal saya jauh berubah, setelah merasakan asam garam kehidupan.
Sejak menikah, anak dan istri menjadi prioritas saya. Apapun yang saya kerjakan, hasilnya untuk mereka yang di rumah. Maka saya dituntut hati-hati, mengambil keputusan sebelum bertindak.
Sementara teman yang bujang, egonya sedemikian tak terusik dan kukuhnya. Kalau enggan berdebat, saya menyudahi obrolan dengan tidak membalas pesannya.
Ya, beda menikah beda membujang.
----