Ibarat rejeki berupa makanan, musti dibarengi inisiatif mengambil piring dan sendok. Kemudian menuangkan nasi, lauk pauk, sayur mayur, di atas piring. Selanjutnya disantap dengan hati-hati, agar tidak keselek dan berkah mengenyangkan.
Jujurly, sebenarnya teman tidak buruk rupa. Penampilan fisiknya oke punya, berat dan tinggi badannya proporsional. Dari keluarga menengah tinggal di perumahan, ayah pensiunan dan ibunya ibu rumah tangga.
Lagi-lagi, sikapnya saja yang kurang dijaga. Mungkin belum pernah mengalami, benturan kehidupan yang membuat berubah. Sehingga ego-nya mengemuka, belum ada kejadian yang mengantarkan introspeksi diri.
Pernah ada teman tinggal di kampung yang sama, ikut test fisik di sebuah instansi pemerintah.  Alih-alih didukung, malah diremehkan dan dijatuhkan mental.  Menurutnya -- teman yg ikut tes--, badannya  tidak tegap kurang simetris. Bahkan kalau berdiri, tulang punggungnya tampak melengkung.
Pernah kejadian lain terjadi, saat tetangga seumuran mencoba peruntungan melamar di perusahaan asuransi. Seketika komentar sinis tercetuskan, dianggap tidak berbakat meyakinkan orang. Bicaranya kurang percaya diri, kerap gagap saat di hadapan orang lain.
Ya, beda menikah beda membujang.
----
Ketika mbarep saya umur tiga tahun, terbetik kabar bahwa teman pintar hendak menikah. Saya tidak kenal mempelai perempuan, infonya pekerja swasta di Sidoarjo---syukur alhamdulillah. Karena beda kota dan jaraknya jauh, saya mengirim doa dan mengucapkan selamat via SMS.
Kami berteman di medsos, dibagikan foto-foto pernikahan di berandanya. Memasuki bulan ketiga, kabar menyenangkan dituliskan sebagai status. Bahwa sang istri hamil muda, babak baru segera dimulai.
Saat ke Surabaya, dua kali kami berkesempatan bersua. Guratan di wajah, jelas menandakan telah berumur. Tetapi lelaki pintar di hadapan saya, menjadi sosok yang jauh berbeda.