Sekitar lima tahun sejak kepindahan, sesekali saya ke Surabaya menyelasaikan beberapa urusan. Kami janjian ketemu, berbagi kabar berita dan cerita. Meski hanya ketemu dua tiga teman saja, cukuplah menyambung tali pertemanan.
Pada teman sudah menikah, saya mendapati sikap serupa dengan diri sendiri. Tidak begitu menggebu atau berapi-api, menyikapi cerita tersampaikan. Cenderung lebih kalem, menyimak tanpa lekas berekasi dan menanggapi.
Saya mengamini hal ini, bahwa menikah membawa perubahan pada seseorang. Baik dari sisi mental maupun psikologis, akan terbentuk sedemikian rupa. Â
Saya kalau ada pekerjaan, kemudian disuguhi makanan enak -- entah nasi kotak atau snack. Langsung terbayang wajah anak istri, apalagi saat kami sedang berhemat. Tak tega makan enak, sementara anak istri tidak. Tak jarang jatah itu dimakan sedikit, selebihnya dibawa pulang.
Misalnya lagi ketika sakit, semangat saya untuk sembuh berlipat- lipat. Melihat istri merawat saya, dan anak-anak musti tetap berangkat sekolah. Mereka masih membutuh sosok ayah, saya bertanggung jawab bekerja menafkahi.
Pada teman -- Surabaya-- yang bujang, saya merasakan kengototannya. Sehingga kami circel lamanya, makin paham alasan -- teman ini -- belum menikah. Ditambah latar keluarga berkecukupan, secara ekonomi tidak ikut menanggung.
Beda Menikah Beda Membujang
"Kalau ada teman atau sodara cewek, kenalin ya."
Sebuah pesan saya terima, saat perjalanan menuju daerah jakarta Timur. Bahasa kaku tanpa basa basi itu, dengan mudah saya kenali. Pun tanpa melihat nomornya, saya bisa menebak siapa pengirimnya.
Teman pintar, mulai didesak orangtua untuk menikah. Umur yang menuju tigapuluh lima tahun, diwanti-wanti menyudahi masa lajang. Saya yang tidak punya calon untuk dicomblangi, memilih mendiamkan pesan itu.
Benar kata pepatah, "Jodoh di tangan Tuhan." Tapi tetap saja, musti ada inisiatif dan usaha dari manusia-nya. Dengan memantasakan diri, agar jodohnya datang didekatkan. Berupaya meluaskan pergaulan, membuka masukan sekaligus koreksi diri.