Melintas di beranda Facebook saya, postingan bertema keluarga. Kali ini tentang hubungan suami istri, yang sangat mungkin relate dengan keadaan sekarang.
Suami dengan istri mandiri, yang -- kalau ditelaah dengan seksama-- seharusnya menjadi warning bagi sang kepala keluarga. Ada yang tidak bisa disangkal, bahwa syariat menerapkan fungsi qowam (pemimpin di rumah tangga) hanya di pundak lelaki.
Lelaki yang telah menjadi suami, sejatinya pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Kalau hal ini diingkari, maka lelaki telah mengingkari fitrahnya. Dan ini petanda tidak baik, kalau dibiarkan kalau diterus-teruskan.
Tercerabutnya qowammah (jiwa kepemimpinan) dari diri suami, berarti tercerabutnya harga diri sebagai laki-laki. Dan ini sangat tidak mengenakan, dampaknya untuk jangka panjang. Istri dan anak-anak bisa hilang rasa hormat, ada atau tiadanya kepala keluarga tak berdampak apa-apa.
Menjalankan fungsi qowwam, sebenarnya tidak diukur dari besaran uang bulanan yang diberikan untuk istri. Bukan dipandang dari seberapa besar dan megah, rumah yang ditinggali dan nyamannya kendaraan dikendarai.
Tetapi nilai kepemimpinan lelaki, dilihat dari kesungguhannya berupaya untuk orang dikasihi. Menafkahi keluarga dengan harta terbaik, dihasilkan dari keringat dan jerih payah yang tayib. Soal besaran nilai di luar kuasa manusia, itu masalah pergiliran semata.
Asalkan tidak berhenti berusaha, terus menggali kemampuan dan tekun berproses. Biarlah semesta, yang memutuskan hasil akhirnya.
Saya cuplikan beberapa bagian postingan, berharap mewakili isi konten, relate dengan artikel yang ingin saya tuliskan.
"Ada suami yang begitu bangga saat istrinya mapan, mandiri, berdiri kuat, kokoh lagi berdaya. Ia senang melihat istri yang punya penghasilan sendiri, sehingga tak lagi meminta uang belanja bulanan padanya.
.... dst..... dst
Bagaimana menurutmu wahai para suami?Â
Enak kah kondisi demikian?Â
Sehingga kau merasa tak direpotkan lagi oleh istrimu.
----bersambung---
Di era post modern, perempuan berkesempatan berkarya di posisi biasa ditempati lelaki. Bermunculan pejuang hak-hak perempuan (feminis), bersuara menuntut persamaan tersebut. Fakta bisa dilihat bersama, banyak perempuan berperan di ranah publik.
Kompasianer, pernah mendengar atau membaca kisah Nabi Sulaiman. Yang dikunjungi Ratu Bilqis, perempuan di puncak tampuk kepemimpinan kala itu. Istri Kanjeng Nabi yang paling dicintai, Siti Khadijah adalah saudagar kaya raya di jamannya.
Banyak perempuan terkemuka, ada di setiap periode kehidupan. Perempuan dengan peran besar di sektor kehidupan, hadir dari masa ke masa sebagai bahan pelajaran.
Tetapi kalau dicermati, besaran prosentasenya tetap ada di kaum lelaki. Menurut saya ini gambaran, kodrat perempuan tergantung pada laki-laki. Kecenderungan ketergantungan tidak bisa diabaikan, musti diterima dengan lapang hati.
So, para suami yang memiliki istri sangat tergantung. Jangan menganggap sebagai beban, demikian kehidupan mengaturnya dengan sangat teliti. Pundak kalian diciptakan, dipersiapkan untuk mengemban hal tersebut.Â
Terimalah dengan sepenuh hati, yakinlah kalian mampu dan dimampukan kehidupan.
---Sambungan caption di medsos FB----
Bahagialah saat istrimu masih menadahkan tangannya minta uang belanja. Bukankah sejatinya laki-laki adalah qawwam, tugasnya memberi nafkah, agar nanti istrimu patuh karena ke-qawwamanmu.
...dst....
Muliakanlah istrimu, rapikanlah bila kau nampak ia berantakan, percantiklah bila kau lihat ia belepotan, santunkan bila kau anggap ia ceplas-ceplos tanpa etika, luaskan pengetahuannya bila kau anggap ia kampungan.
--dsb--
Sebelum kau jauh-jauh memberi manfaat dan kebaikan pada orang lain, pastikan dulu istrimulah yang paling merasakan manfaatmu dan kebaikanmu.
seorang wanita yang mandiri tidak akan mengemis untuk diberi,tapi seorang lelaki yang bertanggung jawab, akan memberi sendirinya tanpa diminta .
Uang Suami Juga Uang Istri, Uang Istri Ya Uang IstriÂ
Kompasianer, memiliki istri bekerja bukan hal yang tabu. Karena setiap keluarga, memiliki kesepakatan masing-masing. Tidak bisa disamakan tak boleh diperbandingan, kondisi satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Istri yang berpenghasilan sendiri, tidak serta merta menggugurkan kewajiban suami menafkahi. Istri dengan gaji bulanan, tidak otomatis wajib menanggung iuran lingkungan. Maka kalau sewaktu-waktu istri merengek, ingin berhenti bekerja (dari kantor) tak elok digerutui.
Kewajiban utama mencari nafkah, tetaplah di tangan suami sebagai kepala keluarga. Kalaupun istri bersedia membantu -- soal keuangan--, pastikan tanpa paksaan dan inisiatif sendiri.
Tetapi suami jangan terus keenakan dan kebablasan, lepas tanggung jawab menafkahi. Dengan alasan istri sudah punya uang, tidak diberi tidak masalah.
-----
Kalimat "uang suami juga uang istri, uang istri ya uang istri", sejatinya benar adanya. Ketika istri punya uang dari usahanya, beri kebebasan dia menggunakannya. Tetapi ketika suami punya uang, tetap wajib memberikan ke istri.
Kompasianer, banyak syariat yang sulit dicerna akal. Tetapi ketika dijalankan, sangat banyak hikmah bisa dipetik. Misalnya syariat menikah, bukan hal yang mudah untuk dijalani. Syariat kewajiban suami menafkahi istri, butuh perjuangan yang luar biasa. Tugas kita manusia, adalah menjalani setiap syariat dengan sepenuh hati.Â
Sehingga akan banyak hikmah bisa dipetik, keajaiban kehidupan akan terjadi. Orang yang menjalani syariat dengan baik, akan lahir menjadi pribadi yang arif.Â
Uang suami uang istri, uang istri ya uang istri. Mungkin terkesan tidak adil, tetapi demikianlah kehidupan mengatur. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H