Kompasianer's yang usianya sudah banyak alias senior ---hehehe--, dijamin sudah menemui liku- liku kehidupan. Baik manis atau asinnya, entah jatuh maupun bangunnya, tertawa yang beriring menangisnya, demikian hukum kehidupan berlaku bagi setiap hambaNYA.
Bahwa tidak jaminan, jalan kehidupan dilewati selalu mulus tanpa kerikil. Betapa banyak fase kehidupan bakalan dilalui, diantaranya masa- masa pahit penuh kepiluan. Masing-masing orang telah membawa suratan, memiliki bagian-nya sendiri-sendiri.
Menikah adalah sebuah episode, yang niscaya bisa membantu meringankan kesedihan.
---- ----- ----
Di usia yang sudah tidak muda, saya telah mengalami ragam gejolak kejadian. Seiring berjalannya waktu, sebuah insight mampir di benak ini. Tentang sebuah keyakinan, bahwa tidak ada yang sia-sia yang dihadirkan kehidupan pada setiap diri.
Kesedihan sengaja diadakan, agar sikap rendah hati terasah dan kita sampai pada sikap pasrah. Sedih akan efektif dibilas tangis, guna melepaskan pedih dan melahirkan sikap empati.
Percayalah Kompasianer, bahwa kesenangan dan tertawa berlebihan juga tidak baik. Bisa mengeraskan hati, lahir sikap menyepelekan orang lain. Hati yang tidak peka, biasanya karena hari-hari diliputi keenakan semata.
Hidup ini penuh kemuliaan, akan semakin berwarna dengan ujian demi ujian. Orang yang bisa melewati dan lulus ujian, akan menjadi orang dengan pribadi arif.
Logikanya sangat make sense, orang yang pernah di posisi terluka akan lebih empati pada derita orang lain. Orang yang senang di sepanjang hidup, kecil kemungkinan cepat sigap bersimpati.
Skenario kehidupan sangat dahsyat, setiap orang bergumul dengan medan juangnya sendiri. Apapun yang pernah dikerjakan (baik/buruk), akibatnya (cepat atau lambat) akan kembali pada pelakunya sendiri.