Adalah suami yang berlaku kasar, tetapi si istri bertahan demi anak. Istri nelangsa bagaikan sansak hidup, tak punya pilihan. Rumah ditempati, kendaraan dipakai dibeli dan atas nama suami. Dirinya yang ibu rumah tangga, berpenghasilan minim dari membuka warung di rumah.
Kini keduanya di masa lansia, anak-anak tumbuh dewasa memberikan cucu. Sesekali saya bertemu pasangan ini, dengan pola komunikasi (masih) tidak baik. Suami dengan kalimat kasarnya, dan istri lebih banyak diam tak membalas. Tak ada romantis-romantisnya, bahasa tubuhnya tak mengandung love language.
Vibes hubungan ibu dan almarhum ayah saya, rasanya tak terjadi pada pasangan ini. Pada keduanya, saya mengumpakan postingan medsos tersebut. Pernikahannya, sekadar menua bersama. Anak-anak yang sangat paham keadaan, selalu membela ibu.
-----
Kompasianer, saya mengamini bahwa pernikahan (sejatinya) bisa menjadi medan juang. Untuk pelakunya menggapai kemuliaan, untuk pasangan menggapai jannah (surga). Asalkan suami istri, menunaikan tugas dan tanggung jawab, mengemban kewajiban masing-masing.Â
Suami istri ibarat pakaian, keduanya manusia biasa dengan banyak dosa dan kekurangan. Masing-masing musti mengisi dan saling melengkapi, karena demikian semesta mengembankan amanat.
Sehingga perjalanan dinamis sebuah pernikahan, memberi hikmah besar bagi suami istri. Dan bahwa menikah bukan tentang menua bersama, tapi tentang ke surga bersama.
Salam sehat selalu kompasianer's, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H