Suatu pagi terdengar kabar, ibu jatuh kepleset ke dalam parit. Lepas subuh di musim hujan, ibu mencari pinjaman ke tetangga beda RT. Â
Sebelum anaknya yang kuliah berangkat ke kota, ibu setengah berlari mengejar waktu. Ketika melompati parit cethek itu, tanah di pingirnya tak kuasa menahan beban. Alhasil tanah gembur itu ambrol, dan kaki ibu terperosok.
Kejadian yang dipergoki tukang tempe, dibantah saat saya tanyakan. Dan perihal kakinya yang berdarah, dijawab terkena pisau yang jatuh.
Itu baru sekelumit cerita, dari sekian banyak kisah belum terungkap. Dan 4 tahun sebelum usia pernikahan emas, ayah menghembuskan nafas terakhir.
"bu, aku njaluk ngapuro yo, akeh salah ambek kowe" ibu menirukan kalimat ayah, beberapa waktu sebelum kepergian.
Rentang waktu 46 tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Dua pertiga hidupnya, ayah dan ibu melewati berdua. Kesetiaannya, kebersamaannya, kekompakannya, telah teruji oleh kehidupan. Niscaya ikatan batinnya kuat, satu sama lain memiliki keterkaitan.
Dan sangat wajar, ibu merasakan kehilangan yang sangat. Ketika lelaki yang dicintai, telah pergi meninggalkannya. Ketika belahan hati, tempat berbagi suka duka telah mendahuluinya.
"semoga surga, menjadi tempat persuaan ayah dan ibunda di alam baqa,aamiin ya Rabb " doa saya lirih
Bahwa Menikah Bukan Sekadar Menua Bersama
Pernikahan. Semakin memahami, bahwa berumah tangga bukalah perkara mudah. Tak hanya sebatas komitmen, tapi pikulan beban tanggung jawab dan amanah yang musti ditunaikan. Tak Sekadar mental, tapi ilmupun harus  disiapkan. Bukan tentang menua bersama, tapi tentang ke surga bersama @fir***l**der
Tulisan ini, terinspirasi dari postingan di medsos. Saya terkesan di kalimat terakhir, yang kemudian saya jadikan judul artikel ini. Sekaligus soal menua bersama, mengingatkan saya pada kisah saudara jauh.