Menikah itu 70% isinya ngobrol, lantas bagaimana kalau ngobrol saja sudah tidak nyambung? Ini bisa jadi perdebatan  yang tiada henti -- Elly Risman, Psikolog
Kompasianer, haqul yaqin, menyatukan dua isi kepala berbeda itu effort-nya luar biasa besar. Suami istri, tumbuh berkembang dengan latar belakang yang tidak sama.
Masing-masing dengan lingkungan pertemanan, lingkungan keluarga, pendidikan, pergaulan yang jauh berbeda. Namanya juga latar belakang berbeda, maka karakter (suami istri) terbentuk juga jauh berbeda.
Bagi teman-teman muslim, ada tuntunan/anjuran mencari pasangan yang sekufu. Adalah pasangan yang sepadan, baik dari sisi pendidikan, kelas sosial, jenjang ekonomi, dan kesepadanan- kesepadanan lainnya. Sehingga kalaupun ada perbedaan pada pasangan, hal itu masih bisa ditoleransi atau dikompromikan.
Kehidupan pernikahan itu, gelombangnya sangat-sangat tidak terprediksi. Jatuh bangkitnya, naik turunnya, jaya surutnya, benar-benar menjadi rahasia kehidupan.
Sekufu-nya suami istri, sangat membantu meminimalisir konflik agar tak berkepanjangan. Sepadannya suami istri, membuat nyambung saat ngobrol dan atau bertukar pikiran.
Karena menikah itu, 70 % isinya ngobrol dan kompromi.
-----
Saya dan istri, masing-masing berasal dari keluarga besar. Kalau semua ngumpul, saudara sekandung atau saudara ipar hampir tiga puluh-an. Belum lagi keponakan, belum saudara misan, belum lagi cucu, bisa-bisa rumah tidak cukup menampung.
Ayah dan ibu (kandung atau mertua), adalah orang generasi lama yang setia dengan satu pasangan. Istilah kata, meski bumi berguncang, guntur menggelegar, tetap bertahan dengan satu pasangan.